Cari Artikel Muslimah-muslimah terkemuka di Blog Ini

Rabu, 30 Juni 2010

Ummu Hani’ bintu Abi Thalib Al-Hasyimiyyah radhiallahu ‘anha




Penulis : Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Anisah Bintu ‘Imran


Dia begitu mengerti tentang agungnya hak seorang suami. Dia pun mengerti tentang hak anak-anak yang ditinggalkan suaminya dalam asuhannya. Dia tak ingin menyia-nyiakan satu pun dari keduanya, hingga dia dapatkan pujian yang begitu mulia, “Sebaik-baik wanita penunggang unta adalah wanita Quraisy, sangat penyayang terhadap anak-anaknya.”

Dia bernama Fakhitah, seorang wanita dari kalangan bangsawan Quraisy. Putri paman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Thalib Abdu Manaf bin Abdil Muththalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay. Ibunya bernama Fathimah bintu Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf. Dia saudari sekandung ‘Ali, ‘Aqil dan Ja’far, putra-putra Abu Thalib.

Semasa jahiliyah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminangnya. Pada saat bersamaan, seorang pemuda bernama Hubairah bin Abi Wahb Al-Makhzumi pun meminangnya pula. Abu Thalib menjatuhkan pilihannya pada Hubairah hingga akhirnya Abu Thalib menikahkan Hubairah dengan putrinya. Dari pernikahan ini, lahirlah putra-putra Hubairah, di antaranya Ja’dah bin Hubairah yang kelak di kemudian hari diangkat ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu -ketika menjabat sebagai khalifah- sebagai gubernur di negeri Khurasan. Putra-putra yang lainnya adalah `Amr –yang dulunya Ummu Hani` berkunyah dengannya, namun putranya ini meninggal ketika masih kecil– serta Hani` dan Yusuf.

Namun pada akhirnya, Islam memisahkan mereka berdua. Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan negeri Makkah bagi Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan manusia berbondong-bondong masuk Islam, Ummu Hani` radhiallahu ‘anha pun berislam bersama yang lainnya. Mendengar berita keislaman Ummu Hani`, Hubairah pun melarikan diri ke Najran.

Pada hari pembukaan negeri Makkah itu, ada dua kerabat suami Ummu Hani` dari Bani Makhzum, Al-Harits bin Hisyam dan Zuhair bin Abi Umayyah bin Al-Mughirah, datang kepada Ummu Hani` untuk meminta perlindungan. Waktu itu datang pula ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu menemui Ummu Hani` sambil mengatakan, “Demi Allah, aku akan membunuh dua orang tadi!” Ummu Hani` pun menutup pintu rumahnya dan bergegas menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Saat itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah mandi, ditutup oleh putri beliau, Fathimah radhiallahu ‘anha dengan kain. Ummu Hani` pun mengucapkan salam, hingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Siapa itu?” “Saya Ummu Hani`, putri Abu Thalib,” jawab Ummu Hani`. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyambutnya, “Marhaban, wahai Ummu Hani`!”

Lalu Ummu Hani` mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kedatangan dua kerabat suaminya untuk meminta perlindungan kepadanya sementara ‘Ali berkeinginan membunuh mereka. Maka beliau pun menjawab, “Aku melindungi orang yang ada dalam perlindunganmu dan memberi jaminan keamanan pada orang yang ada dalam jaminan keamananmu.” Usai mandi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan shalat delapan rakaat. Waktu itu adalah waktu dhuha.

Setelah Ummu Hani` berpisah dari suaminya karena keimanan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang untuk meminang Ummu Hani`. Namun dengan halus Ummu Hani` menolak, “Sesungguhnya aku ini seorang ibu dari anak-anak yang membutuhkan perhatian yang menyita banyak waktu. Sementara aku mengetahui betapa besar hak suami. Aku khawatir tidak akan mampu untuk menunaikan hak-hak suami.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengurungkan niatnya. Beliau mengatakan, “Sebaik-baik wanita penunggang unta adalah wanita Quraisy, sangat penyayang terhadap anak-anaknya.”

Ummu Hani` radhiallahu ‘anha meriwayatkan hadits-hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang hingga saat ini termaktub dalam Al-Kutubus Sittah. Dia pun menyebarkan ilmu yang telah dia dulang hingga saat akhir kehidupannya, jauh setelah masa khilafah saudaranya, ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, pada tahun ke-50 H. Ummu Hani` Al-Hasyimiyyah, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhainya….
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Sumber Bacaan:
* Al-Bidayah wan Nihayah, Al-Imam Ibnu Katsir (4/292-293)
* Al-Ishabah, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani (7/317)
* Al-Isti’ab, Al-Imam Ibnu Abdil Barr (4/1963-1964)
* Ath-Thabaqatul Kubra, Al-Imam Ibnu Sa’d (8/47)
* Siyar A’lamin Nubala`, Al-Imam Adz-Dzahabi (2/311-314)
* Tahdzibul Kamal, Al-Mizzi (35/389-390)

Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=346

Sabtu, 19 Juni 2010

Khadijah Binti Khuwailid (Istri Rasulullah di permulaan Islam)


Tatkala Nabi SAW mengalami rintangan dan gangguan dari kaum
lelaki Quraisy, maka di sampingnya berdiri dua orang wanita. Kedua
wanita itu berdiri di belakang da'wah Islamiah, mendukung dan bekerja
keras mengabdi kepada pemimpinnya, Muhammad SAW : Khadijah bin Khuwa-
ilid dan Fatimah binti Asad. Oleh karena itu Khadijah berhak menjadi
wanita terbaik di dunia. Bagaimana tidak menjadi seperti itu, dia
adalah Ummul Mu'minin, sebaik-baik isteri dan teladan yang baik bagi
mereka yang mengikuti teladannya.

Khadijah menyiapkan sebuah rumah yang nyaman bagi Nabi SAW
sebelum beliau diangkat menjadi Nabi dan membantunya ketika merenung
di Gua Hira'. Khadijah adalah wanita pertama yang beriman kepadanya
ketika Nabi SAW berdoa (memohon) kepada Tuhannya. Khadijah adalah
sebaik-baik wanita yang menolongnya dengan jiwa, harta dan keluarga.
Peri hidupnya harum, kehidupannya penuh dengan kebajikan dan jiwanya
sarat dengan kebaikan.

Rasulullah SAW bersabda :"Khadijah beriman kepadaku ketika
orang-orang ingkar, dia membenarkan aku ketika orang-orang mendustakan
dan dia menolongku dengan hartanya ketika orang-orang tidak memberiku
apa-apa."

Kenapa kita bersusah payah mencari teladan di sana-sini, pada-
hal di hadapan kita ada "wanita terbaik di dunia," Khadijah binti Khu-
wailid, Ummul Mu'minin yang setia dan taat, yang bergaul secara baik
dengan suami dan membantunya di waktu berkhalwat sebelum diangkat men-
jadi Nabi dan meneguhkan serta membenarkannya.

Khadijah mendahului semua orang dalam beriman kepada risalahnya,
dan membantu beliau serta kaum Muslimin dengan jiwa, harta dan keluarga.
Maka Allah SWT membalas jasanya terhadap agama dan Nabi-Nya dengan se-
baik-baik balasan dan memberinya kesenangan dan kenikmatan di dalam is-
tananya, sebagaimana yang diceritakan Nabi SAW, kepadanya pada masa hi-
dupnya.
Ketika Jibril A.S. datang kepada Nabi SAW, dia berkata :"Wahai,
Rasulullah, inilah Khadijah telah datang membawa sebuah wadah berisi
kuah dan makanan atau minuman. Apabila dia datang kepadamu, sampaikan
salam kepadanya dari Tuhannya dan aku, dan beritahukan kepadanya tentang
sebuah rumah di syurga dari mutiara yang tiada keributan di dalamnya
dan tidak ada kepayahan." [HR. Bukhari dalam "Fadhaail Ashhaabin Nabi
SAW. Imam Adz-Dzahabi berkata :"Keshahihannya telah disepakati."]

Bukankah istana ini lebih baik daripada istana-istana di dunia,
hai, orang-orang yang terpedaya oleh dunia ?

Sayidah Khadijah r.a. adalah wanita pertama yang bergabung
dengan rombongan orang Mu'min yang orang pertama yang beriman kepada
Allah di bumi sesudah Nabi SAW. Khadijah r.a. membawa panji bersama
Rasulullah SAW sejak saat pertama, berjihad dan bekerja keras. Dia
habiskan kekayaannya dan memusuhi kaumnya. Dia berdiri di belakang
suami dan Nabinya hingga nafas terakhir, dan patut menjadi teladan
tertinggi bagi para wanita.

Betapa tidak, karena Khadijah r.a. adalah pendukung Nabi SAW
sejak awal kenabian. Ar-Ruuhul Amiin telah turun kepadanya pertama
kali di sebuah gua di dalam gunung, lalu menyuruhnya membaca ayat-
ayat Kitab yang mulia, sesuai yang dikehendaki Allah SWT. Kemudian
dia menampakkan diri di jalannya, antara langit dan bumi. Dia tidak
menoleh ke kanan maupun ke kiri sehingga Nabi SAW melihatnya, lalu
dia berhenti, tidak maju dan tidak mundur. Semua itu terjadi ketika
Nabi SAW berada di antara jalan-jalan gunung dalam keadaan kesepian,
tiada penghibur, teman, pembantu maupun penolong.

Nabi SAW tetap dalam sikap yang demikian itu hingga malaikat
meninggalkannya. Kemudian, beliau pergi kepada Khadijah dalam keadaan
takut akibat yang didengar dan dilihatnya. Ketika melihatnya, Khadijah
berkata :"Dari mana engkau, wahai, Abal Qasim ? Demi Allah, aku telah
mengirim beberapa utusan untuk mencarimu hingga mereka tiba di Mekkah,
kemudian kembali kepadaku." Maka Rasulullah SAW menceritakan kisahnya
kepada Khadijah r.a.

Khadijah r.a. berkata :"Gembiralah dan teguhlah, wahai, putera
pamanku. Demi Allah yang menguasai nyawaku, sungguh aku berharap engkau
menjadi Nabi umat ini." Nabi SAW tidak mendapatkan darinya, kecuali pe-
neguhan bagi hatinya, penggembiraan bagi dirinya dan dukungan bagi
urusannya. Nabi SAW tidak pernah mendapatkan darinya sesuatu yang menye-
dihkan, baik berupa penolakan, pendustaan, ejekan terhadapnya atau peng-
hindaran darinya. Akan tetapi Khadijah melapangkan dadanya, melenyapkan
kesedihan, mendinginkan hati dan meringankan urusannya. Demikian hendak-
nya wanita ideal.

Itulah dia, Khadijah r.a., yang Allah SWT telah mengirim salam
kepadanya. Maka turunlah Jibril A.S. menyampaikan salam itu kepada Rasul
SAW seraya berkata kepadanya :"Sampaikan kepada Khadijah salam dari Tuhan-
nya. Kemudian Rasulullah SAW bersabda :"Wahai Khadijah, ini Jibril menyam-
paikan salam kepadamu dari Tuhanmu." Maka Khadijah r.a. menjawab :"Allah
yang menurunkan salam (kesejahteraan), dari-Nya berasal salam (kesejahte-
raan), dan kepada Jibril semoga diberikan salam (kesejahteraan)."

Sesungguhnya ia adalah kedudukan yang tidak diperoleh seorang pun
di antara para shahabat yang terdahulu dan pertama masuk Islam serta
khulafaur rasyidin. Hal itu disebabkan sikap Khadijah r.a. pada saat
pertama lebih agung dan lebih besar daripada semua sikap yang mendukung
da'wah itu sesudahnya. Sesungguhnya Khadijah r.a. merupakan nikmat Allah
yang besar bagi Rasulullah SAW. Khadijah mendampingi Nabi SAW selama
seperempat abad, berbuat baik kepadanya di saat beliau gelisah, menolong-
nya di waktu-waktu yang sulit, membantunya dalam menyampaikan risalahnya,
ikut serta merasakan penderitaan yang pahit pada saat jihad dan menolong-
nya dengan jiwa dan hartanya.

Rasulullah SAW bersabda :"Khadijah beriman kepadaku ketika orang-
orang mengingkari. Dia membenarkan aku ketika orang-orang mendustakan. Dan
dia memberikan hartanya kepadaku ketika orang-orang tidak memberiku apa-
apa. Allah mengaruniai aku anak darinya dan mengharamkan bagiku anak dari
selain dia." [HR. Imam Ahmad dalam "Musnad"-nya, 6/118]

Diriwayatkan dalam hadits shahih, dari Abu Hurairah r.a., dia
berkata :"Jibril datang kepada Nabi SAW, lalu berkata :"Wahai, Rasulullah,
ini Khadijah telah datang membawa sebuah wadah berisi kuah, makanan atau
minuman. Apabila dia datang kepadamu, sampaikan kepadanya salam dari Tuhan-
nya dan beritahukan kepadanya tentang sebuah rumah di syurga, (terbuat) dari
mutiara yang tiada suara ribut di dalamnya dan tiada kepayahan." [Shahih
Bukhari, Bab Perkawinan Nabi SAW dengan Khadijah dan Keutamaannya, 1/539]

Orator Para Perempuan


Asma’ binti Yazid Ibnussakan Al Anshariyah

Khathibatun-Nisaa

Orator Ulung Perempuan

Siapakah ‘Asma ?

Ia adalah anak paman (sepupu) Mu’adz bin Jabal yang kerap dipanggil “ Ummu Salamah “ al-Anshariyah.

Perkataan mulia.

Suatu ketika ia mendatangi Rasulullah SAW, yang saat itu sedang bersama para sahabat. Ia berkata,” Wahai Rasulullah, saya adalah utusan para perempuan untuk menghadapmu. Sesungguhnya Allah SWT telah mengutusmu kepada laki-laki dan perempuan seluruhnya,maka kamipun beriman kepadamu dan Rabb-mu. Akan tetapi kami para perempuan terkungkung dan terbatas.Menjaga rumah kalian, memenuhi hajat kalian dan mengandung anak kalian. Sementara kalian, wahai laki-laki, mendapat keutamaan daripada kami para perempuan, dalam hal sholat Jum’at dan perkumpulan-perkumpulan. Menjenguk orang yang sedang sakit, menyaksikan jenazah, haji berulang-ulang dan yang lebih dari itu semua, berjuang dijalan Alloh SWT. Apabila seseorang dari kalian keluar untuk melaksanakan haji atau berjihad, maka kamilah para perempuan yang akan menjaga harta kalian, mempersiapkan pakaian kalian, serta mendidik anak kalian. Apakah kami tidak bisa juga mendapatkan pahala seperti yang kalian dapatkan ?”

Subhanallah … lugasnya, kalimah-kalimah yang meluncur dari lisan ‘Asma bin Yazid. Marahkah Rasulullah SAW dengan pernyataan dan pertanyaan-pertanyaan tersebut ?

Rasulullah SAW menoleh kepada para sahabatnya lalu berkata,” Apakah kalian pernah mendengar perkataan seorang perempuan yang mempersoalkan din-nya yang lebih baik dari ini ?”.

Mereka menjawab,” Wahai Rasulullah kami tidak mengira bahwa ada seorang perempuan yang mampu berbicara tentang hal-hal demikian itu!”.

Rasulullah SAW menoleh kepada perempuan itu dan berkata,” Pahamilah dan kabarkanlah kepada para perempuan dibelakangmu bahwa seorang perempuan jika menjadi isteri yang baik bagi suaminya ( mengerjakan kewajiban-kewajiban sebagai isteri), selalu meminta ridhanya dan mengikuti apa yang diinginkan suaminya , maka ia telah mengimbangi semua pahala ( yang anda sebutkan tadi)”

‘Asma bin Yazid pun pergi sambil bertahlil.

Saudaraku ... Subhanallah ... perhatikan kecerdasan dan kelugasannya dalam berbicara. Semua dilandasi keimanan yang kokoh. Bukan berlandaskan ego semata. Semoga kita bersabar dalam tho'at.

( Sumber : Perempuan-perempuan mulia di sekitar Rasulullah SAW )

Afra' binti Ubaid bin Tsa'labah dan Ummu Suraqah


Afra' binti Ubaid bin Tsa'labah

Muslimah yang satu ini memiliki kesabaran yang khusus. Kesabaran yang sangat sedikit dimiliki oleh muslimah lainnya. Ia dikarunia ALLOH SWT beberapa putra. Namun ia tidak akan senang sebelum seluruh putranya berjihad. Subhanallah…

Disebutkan didalam Al-Ishabah, (8/26) dia adalah Afra’ binti Ubaid bin Tsa’labah. Ibnu Kalbi berkata,” Ketika Mu’adz dan Ma’udz terbunuh, ibunya datang menemui Rasulullah SAW dan bertanya,” Wahai Rasulullah saw apakah ini yang terakhir dari bani Auf bin Al-Harits ?” Rasulullah SAW menjawab,” Tidak, Afra’ adalah muslimah yang memiliki kekhususan yang tidak dimiliki oleh muslimah lain. Dia dinikahi Al-Bakr bin Yalail Al-Laitsi setelah suaminya yang pertama Al-Harits. Dia dikaruniai empat putra yaitu Iyas, Aqil, Khalid dan Amir. Semua ikut dalam perang Badar. Demikian juga kerabat-kerabatnya dari jalur ibu, Bani Al-Harits “. Dapat disimpulkan bahwa dia adalah muslimah yang memiliki tujuh anak dan kesemuanya ikut terjun dikancah Perang Badar.

Wahai ummi, berapa orang putrakah yang Alloh SWT titipkan pada kita ? Satu, dua, tiga atau bahkan lebih ? Tidakkah kita ingin bersyukur atas ni’mat itu ? Sudahkah kita mempersiapkan mereka untuk menjadi mujahid penegak syari’ah. Yang siap berjihad meninggikan kalimahNya ?

Ya Alloh, masukkanlah kami dalam rombongan Kafilah Syuhada –Mu . Aamiin .



Ummu Suraqah

Ummu Suraqah, adalah salah seorang muslimah masa kini yang telah menginfaqkan putranya untuk berjihad di bumi jihad Afghanistan.

Alhamdulillah, putranya meraih syahid.

Tinggallah para mujahidin, berfikir keras bagaimana cara menyampaikan berita duka ini kepada sang ibu. Yang dikhawatirkan akan merasa terpukul karenanya.

Akhirnya, diputuskan bahwa Asy Syahid Syaikh Abdullah Azam sendiri yang akan mengabarkan kematian Suraqah.

Dengan pertimbangan, semoga musibah yang akan disampaikannya akan terasa ringan.

Reaksi Ummu Suraqah.

Asy Syahid Syaikh Abdullah Azam kemudian meneguhkan hati sang ibu seraya memberikan kabar gembira atas kesyahidan putranya. Tak lupa beliaupun menyampaikan tausiah untuk bersabar. Namun apa jawaban sang ibu, ia menjawab dengan jawaban yang pernah diucapkan oleh oleh muslimah generasi salaf. Dia berkata," Alhamdulillah, Suraqah telah terbunuh dan saya akan mengirimkan lagi saudaranya untuk menggantikan posisinya".

Seorang sahabat pernah berkata kepadaku,” Alloh SWT titipkan satu anak laki-laki padamu, karenanya jangan sia-siakan yang satu itu . Atau engkau akan menyesal selamanya. Tidakkah engkau ingin berkumpul kembali dengan keluargamua di jannah nanti ?”.

Subhanallah … tausiah seorang sahabat yang sangat membekas dalam sanubariku.

Ya ummi ... mari berkumpul kembali dengan keluarga kita dijannah .

( Sumber : Muslimah Berjihad, karya Yusuf Al-‘Uyairi. )

Hindun Binti Amru Bin Haram


Profil Hindun Binti Amru Bin Haram ( Isteri Amru Ibnul Jamuh )

Hindun binti Amru adalah sosok muslimah yang hatinya dipenuhi kecintaan kepada Islam. Kecintaannya kepada ad dinul haq,Islam, menjadikannya muslimah yang gigih mengobarkan semangat jihad bagi para rijal. Untuk memperjuangkan, mempertahankan, membela tegaknya kalimah Alloh SWT. Tak terkecuali kepada suami, anak dan keluarganya.

Siapakah Hindun binti Amru ?

Beliau adalah isteri Amru ibnul Jamuh, salah seorang pemuka Bani Salamah yang terhormat. Namun memiliki cacat yaitu pincang. Walaupun demikian, dengan keadaan fisik yang tidak normal tersebut, Amru ibnul Jamuh berhasil meraih syahid. Ia tidak mau tertinggal dalam jihad melawan musuh-musuh Islam.Walaupun sesungguhnya tidak ada kewajiban atasnya untuk itu. Demikian juga putranya Khallad dan Abdullah ( saudaranya) merekapun syahid.

Hindun binti Amru kehilangan tiga orang yang dicintainya dalam satu waktu. Namun itu tidak menjadikannya lemah, atau hanyut dalam kesedihan.

Membawa Jenazah ke Madinah.

Ketika Hindun akan membawa jenazah ketiga orang yang dicintainya ke Madinah untuk dimakamkan disana, Ummul Mu’minin Aisyah melihatnya dan berkata padanya,” Kamu memiliki kebaikan , lalu apa kamu tinggalkan dibelakangmu ?”

Hindun menjawab,” Rasulullah SAW adalah orang sholeh, dan setiap musibah setelah beliau adalah kecil. Dan Alloh SWT mengambil dari orang-orang mu’min untuk menjadi syuhada !!”.

“Siapa mereka ?” Tanya Aisyah ra.

“Saudaraku, putraku Khallad dan suamiku Amru ibnul Jamuh”.

“ Kemana engkau akan pergi dengan jenazah mereka ?,” lanjut Aisyah.

“ Saya hendak mengubur mereka di Madinah,” jawab Hindun.

Subhanallah … akhwati … mari kita hayati ketegaran dan kesabarannya. Amat sedikit muslimah yang mampu melakukannya. Kehilangan tiga orang yang dicintai dalam satu waktu, namun tetap sabar.

Berangkatlah Hindun menuju Madinah. Namun kuda yang dikendarainya tidak mau berjalan kearah yang dimaksud. Akhirnya Hindun mengarahkan tali kekangnya kearah kancah Perang Uhud, maka kuda itupun bergerak menuju kesana.

Disanalah Rasulullah SAW menguburkan ketiganya ( Amru ibnul Jamuh, Khallad dan Abdullah ).

Setelah penguburan Rasulullah SAW berkata kepada Hindun,” Wahai Hindun, mereka bertiga nanti di jannah saling berdampingan”. Dengan wajah berseri-seri, Hindun berkata,” Wahai Rasulullah, do’a kanlah saya agar bisa bersama mereka ( dijannah nanti) “.

Kecintaannya kepada tegaknya Islam, menjadikan penawar rasa duka kehilangan orang-orang yang sangat dekat dan sangat dicintainya.

Itulah hakikat Iman, kecintaan kepada Alloh SWT, Rasululullah dan berjihad dijalanNya berada diatas segala-galanya.

Semoga, dengan semakin memahami dan menghayati ketegaran, kesabaran dan kegigihan para shahabiyah. Alloh SWT tumbuh suburkan dalam hati kita benih-benih keimanan yang melahirkan semangat jihad untuk berkorban, baik harta maupun nyawa. Demi tegakNya kalimah Alloh SWT diatas bumi . Bumi yang sejatinya Alloh SWT wariskan kepada hamba-hambaNya yang sholih. Sehingga umat Islam tidak akan dilecehkan dibelahan bumi manapun. Allahu Akbar.

( Sumber : Perempuan-perempuan Mulia di Sekitar Rasulullah SAW )

Ibunda Rab'ah bin Abi Abdirrahman


Alkisah, ayahnya Rabi’ah yang bernama Farrukh, ikut serta dalam ekspedisi kaum muslimin menuju khurasan untuk berperang dimasa pemerintahan Bani Umayyah. Ketika itu Rabi’ah masih berada dalam kandungan ibunya. Sang ayah meninggalkan uang tiga puluh ribu dinar untuk istrinya, ibunda Rabi’ah. Setelah itu farrukh pun berangkat untuk berjihad fii sabiilillah.

Dua puluh tahun berjalan, Farrukh sang Mujahid kembali ke Madinah sembari mengendarai kuda dengan tombak ditangan. Sesampainya di rumah, ia turun dari kudanya lalu mendorong pintu rumah dengan tombak tadi. Sontak, Rabi’ah ( yang merasa asing denagn orang ini ) segera keluar seraya membentaknya, “ hei musuh allah! Engkau hendak membobol rumahku?” “tidak,” sahutnya, Farrukh pun kembali bertanya, “ hei musuh Allah, jadi kamu lelaki asing yang berani mengganggu istriku?” keduanya pun saling menyerang satu sama lain dan bergumul dalam perkelahian hebathingga para tetangga berkerumun disekitar mereka. Akhirnya kabar ini sampai ke telinga Imam Malik bin Anas –salah seorang murid Rabi’ah- dan beberapa syaikh lainnya. Mereka pun dating untuk menolong Rabi’ah. Rabi’ah berkata kepada lelaki itu, “ Demi allah , aku tak akan melepaskan mu sebelum membawamu ke hadapan sultan, “ Farrukh menimpali, “ Aku tak akan melepaskanmu juga, dank au tertangkap basha ada bersama istriku.”

Orang-orang pun rebut membicarakannya . akan tetapi, ketika tampak oleh mereka Imam Malik, semua tenang kembali. Lalu Imam Malik berkata kepada lelaki tadi, “ Hai pak tua! Silahkan anda mencari rumah lainnya,” “ ini rumahku sendiri,” sahut lelaki tadi, “ akulah Farrukh Maula Bani Fulan.” Kata-kata Farrukh tadi ternyata terdengar oleh istrinya dari dalam rumah, maka ia pun bergegas keluar dan berkata, “orang ini adalah suamiku, dan pemuda ini adalah puteraku. Suamiku ini meninggalkanku dalam keadaan mengandung anaknya!”

Akhirnya keduanya saling berpelukan dengan bercucuran air mata. Lalu Farrukh masuk ke dalam rumahnya dan bertanya keheranan, “ pemuda itu adalah puteraku? ” “Ya,” jawab istrinya. Farrukh pun tenggelam dalam pembicaraan bersama istrinya, ia asyik bercerita tentang pengalaman jihadnya selama ini, dan sebab-musabab terputusnya berita darinya. Namun istrinya tak bisa menikmati ceritanya, ia digelayuti fikiran yang tiba-tibamuncul dalam benaknya. Kebahagiaannya berkumpul dengan sang suami dibayangi kekhawatiran akan masalah uang titipan suaminya yang telah habis. Dalam hati ia bergumam, “apa yang harus kukatakan bila suamiku menanyakan uang yang diamanatkan kepadaku agar kumanfaatkan dengan baik, bagaimanakah kiranya sikap suamiku jika kukatakan bahwa harta itu telah habis tak tersisa…? Bisakah dia menerima alasanku bahwa uang itu habis untuk biaya pendidikan Rabi’ah? Percayakah dia bahwa pendidikan puteranya sampai menghabiskan 30 ribu dinar? Bisakah ia meyakinkan Farrukh bahwa tangan puteranya lebih pemurah dari pada awan yang mengguyur bumi dengan hujannya, hingga tak menyisakan satu dirham pun? Padahal seluruh warga Madinah tahu bahwa Rabi’ah amat pemurah dalam menyantuni guru-gurunya.”

Dan apa yang dikhawatirkannya itu ternyata terjadi juga. Tiba-tiba Farrukh menoleh kepada istrinya seraya berkata, “Aku membawa uang 4000 dinar. Ambillah uang yang kutitipkan padamu dahulu. Mari kita kumpulkan semua lalu kita belikan kebun atau rumah. “ tapi Ummu Rabi’ah pura-pura sibuk dan tak menjawabnya. Maka Farrukh mengulangi lagi permintaannya, “ Ayo lekaslah, mana uang itu?” “uang itu telah kusimpan ditempat yang aman, nanti akan kukeluarkan beberapa hari lagi, insya Allah ,” jawab istrinya. Pembicaraan keduanya pun terputus lantaran adzan berkumandang. Maka Rabi’ah segera berangkat menuju masjid lalu duduk di halaqah-nya. Tak lama berselang, datanglah Imam Malik bin Anas, al-Hasan bin Zaid, Ibnu Abi Ali al-Lahbi, al-Musahiqi, dan tokoh-tokoh Madinah lainnya, dan orang-orang berkumpul mengitarinya. Di rumah istri Farrukh ( ibunda Rabi’ah ) berkata kepada suaminya, “ Ayo, sekarang berangkatlah dan shalatlah di masjid Rasulullah ( Masjid Nabawi ).” Maka ia pun berangkat dan kemudian shalat disana. Di masjid itu tampak olehnya sebuah halaqah yang penuh sesak oleh manusia. Ia segera mendatanginya dan berdiri di dekatnya. Orang-orang sedikit melonggarkan jalan baginya, sedangkan Rabi’ah sedikit menundukkan kepalanya seakan ia mengisyaratkan bahwa ia tak pernah melihat lelaki tadi. Ia duduk dibawah thawilah ( sejenis canopy). Abu Abdirrahman (Farrukh) merasa ragu atas pemandangan yang ia saksikan. Kemudian ia bertanya, “ siapa syaikh ini?” “apa anda bukan warga Madinah?” kata orang tersebut. “saya penduduk sini,” jawab Farrukh. “ Masih adakah di Madinah orang yang tak mengenalnya?” Tanya orang tersebut. “ Maaf saya benar-benar tidak tahu sejak 27 tahun lalu saya meninggalkan kota ini dan baru kemarin saya kembali,” kata Farrukh. “Oo..wajar saja, duduklah sejenak akan saya jelaskan. Syaikh itu adalah seorang tokoh tabi’in, dan ulama terpandang. Dialah ahli Haditsnya kota Madinah. Dia juga seorang faqih dan imam panutan kami meski usianya masih sangat muda,” ujar orang tersebut. “ Masya Allah.. la quwwata illa billah,” kata Farrukh terkagum-kagum. “Majelisnya dihadiri oleh Malik bin Anas, Yahya bin Sa’id al-Qahthan, al-Auza’I, Laits bin Sa’ad, dan lain-lain,” lanjut orang itu. “ Tetapi anda belum..” kata Farrukh hendak bertanya. Namun tanpa memberinya kesempatan, orang tersebut melanjutkan keterangannya, “ Dia juga terkenal sangat dermawan dan bijaksana. Di Madinah tidak ada orang yang lebih dermawan terhadap kawan dan kerabatnya dari dia. Dia hanya mengharap apa yang ada di sisi Allah SWT.” “iya, tapi anda belum menyebutkan namanya,” sela Farrukh. “namanya adalah Rabi’ah ar-Ra’yi,” jawab orang itu. “Rabi’ah ar-Ra’yi?” Tanya Farrukh.

“Nama aslinya Rabi’ah, tetapi para ulama danpemuka Madinah biasa memanggilnya Rabi’ah ar-Ra’yi. Karena setiap kali mereka menjumpai kesulitan atau merasa tidak jelas tentang suatu nash al-Quran atau hadits, mereka bertanya kepadanya. Kemudian beliau berijtihad dalam masalah tersebut dengan menggunakan qiyas apabila tidak menemukan dalil yang jelas, kemudian menyimpulkan hukumbagi mereka yang memerlukannya secara bijaksana.”

Nama aslinya Rabi’ah, tetapi para ulama danpemuka Madinah biasa memanggilnya Rabi’ah ar-Ra’yi. Karena setiap kali mereka menjumpai kesulitan atau merasa tidak jelas tentang suatu nash al-Quran atau hadits, mereka bertanya kepadanya. Kemudian beliau berijtihad dalam masalah tersebut dengan menggunakan qiyas apabila tidak menemukan dalil yang jelas, kemudian menyimpulkan hukumbagi mereka yang memerlukannya secara bijaksana.” “tapi anda belum menyebutkan nasabnya,” sela Farrukh lagi. “Dia adalah Rabi’ah bin Abi Abdurrahman, putra Farrukh yang berangkat berjihad fi sabilillah sejak 27 tahun silam. Kemudian ibunyalah yang memeliharadan mendidiknya . tadi sebelum shalat tadi saya mendengar dari orang-orang bahwa ayahnya telah kembali kemarin malam.” Tiba-tiba berderailah air mata Farrukh tanpa orang itu tahu sebabnya. Lalu kembalilah Abu Abdirrahman ke rumahnya dan bercerita kepada Ummu Rabi’ah, “Sungguh, aku telah mendapati puteraku dalam suatu keadaan yang tak pernah dicapai oleh seorang pun dari kalangan ahli ilmu maupun fuqaha.” Maka si ibu mengatakan,” manakah yang lebih kau sukai, tiga puluh ribu dinar, atau yang baru saja yang kau lihat tentang puteramu?” “Tidak, demi Allah, tak ada yang lebih kucintai melainkan apa yang baru saja kulihat!” sahut Farrukh. “Ketahuilah bahwa aku telah membelanjakan uang itu seluruhnya demi pendididkan puteramu,” kata Ummu Rabi’ah. “Sungguh demi Allah, kau tak menyia-nyiakannya kalau begitu,” kata Farrukh.

(waroah dachlan/voice of al islam)

Ibunda Haritsah Bin Suraqah


Haritsah bin Suraqah adalah seorang pemuda Anshar. Beliau punya cerita yang amat menarik tentang dirinya sebagaimana yang tersebut dalam buku-buku Sirah nabawiyah. Penggalan akhir dari cerita ini bahkan ada dalam Shahih bukhari. Tentu bukan hanya kisah tentang dirinya, tapi juga sang ibu yang turut mewarnai jalan hidup yang menjadi pilihannya.

Kisah ini bermula ketika Nabi SAW menyeru para sahabatnya untuk pergi ke Badar. Mendengar seruan Nabi tadi, Haritsah bin Suraqah mendatangi ibunya, seorang wanita tua yang telah bungkuk punggungnya. Sang ibu sangat sayang kepada anaknya yang satu ini. Hembusan angin sepoi-sepoi yang menerpa si anak pun kadang membuatnya cemas. Sengatan matahari di siang hari terhadap anaknya juga membuatnya cemas. Bahkan lebih dari itu, seandainya si buah hati bersimpuh di hadapannya, lalu memintanya menyerahkan nyawanya untuknya, niscaya sang ibu tak segan-segan memberikannya.

Suatu ketika sang ibu bersimpuh di hadapan anaknya. Dengan penuh harap ia memohon kepada Haritsah agar mau menikah. Ia amat merindukan lahirnya seorang cucu dari buah hatinya ini. Dengan lembut haritsah berkata,”Bunda..” “apa yang hendak kau perbuat wahai anakku?” Tanya sang ibu. “saat ini Rasulullah sedang mengajak para sahabat untuk menyertai beliau ke Badar dan akau berniat untuk ikut bersama mereka,” kata Haritsah. “wahai anakku, sungguh demi Allah, amat berat rasanyaberpisah denganmu. Wahai anakku, tetaplah bersamaku dan janganlah pergi!” pinta sang ibu sambil memelas. Namun Haritsah tak putus asa, ia terus menerus membujik ibunya sambil menciumi kening sang ibu serta kedua tangan dan kakinya hingga ia merelakan keberangkatannya. “pergilah, hai anakku, nampaknya aku tak akan merasakan nikmatnya makan, minum, dan tidur hingga engkau kembali kepadaku,” kata ibunya. Perlahan sang ibu mengenakan pakaian bagi anaknya, menyelempangkan panah dan busurnya, kemudian mengecup keningnya, lalu melepas kepergiannya.

“Tatkala kaum muslimin tiba di Badar, mereka bermarkas di sekitar sumur Badar. Setelah mereka bermarkas di sana, mulailah pasukan kafir tiba kompi demi kompi untuk mengambil posisi mereka. Sesaat sebelum gendering perang di tabuh, kedua pasukan telah siap berhadap-hadapan. Ketika itulah tiba-tiba Haritsah berlari menuju sumur Badar,tenggorokannya kering terbakar rasa haus. Bergegas ia ke sumur tadi untuk melepas dahaganya”.

Tatkala kaum muslimin tiba di Badar, mereka bermarkas di sekitar sumur Badar. Setelah mereka bermarkas di sana, mulailah pasukan kafir tiba kompi demi kompi untuk mengambil posisi mereka. Sesaat sebelum gendering perang di tabuh, kedua pasukan telah siap berhadap-hadapan. Ketika itulah tiba-tiba Haritsah berlari menuju sumur Badar,tenggorokannya kering terbakar rasa haus. Bergegas ia ke sumur tadi intuk melepas dahaganya. Tatkala kedua tangannya menciduk air dari sumur untuk di minum, tiba-tiba ada seorang sahabat yang melihatnya. Ia adalah seorang muslim dari Bani Najjar. Rasulullah SAW menugaskannya untuk menjaga sumur Badar dari para penyelinap. Sebagai orang yang di tugasi intuk menjaga sumur, sahabat tadi khawatir jika ada seseorang dari pihak musuh yang ingin mencelakai kaum muslimin dengan mencemari air sumur itu.

Maka tatkala ia mendapati Haritsah hendak mengambil air di sumur tersebut, ia langsung waspada dan berkata, “A’udzubillah, orang kafir ini hendak mencemari sumur kita!?” segeralah ia siapkan busurnya, lalu ia letakkan sebatang anak panah di atasnya. Dengan seksama ia bidikkan anak panah tadi kea rah Haritsah, lalu dipanahnya Haritsah sekuat tenaga dan kemudian, Bless..!! anak panah itu tepat mengenai kerongkongan Haritsah!! Dia pun berteriak kesakitan. Ia terkapar di tanah sembari teriak-teriak minta tolong. Anak panah tadi nyaris membuatnya tak bisa berbicara. Namun tak seorang pun datang menolong. Mereka mengira bahwa Haritsah adalah mata-mata musuh. Ia mencoba mencabut anak panah itu, namun apa lacur, ternyata tubuhnya yang justru terkoyak karenanya. Darah pun mengalir deras membasahi sekujur tubuhnya. Ia terus menerus mengerang kesakitan sambil meregang nyawa, dan akhirnya ia wafat. Setelah terbunuh, si penjaga sumur menghampirinya untuk mencari tahu tentang orang itu. Alangkah kagetnya ia ketika mendapati bahwa yang terbunuh ternyata Haritsah bin Suraqah. "La haula wa la quwwata illa billah!!” serunya terperanjat. Ia segera mengabarkan kepada Nabi SAW akan apa yang terjadi, namun beliau memaafkannya.

Usai peperangan, Rasulullah SAW dan para sahabatnya kembali ke Madinah, kaum muslimin keluar berbondong-bondong menyambut kedatangan Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Wanita, anak-anak, dan orang tua sama-sama menunggu di gerbang kota, di tengah teriknya matahari dan gersangnya padang pasir. Para wanita menunggu kedatangan suami mereka, anak-anak menunggu kedatangan ayah mereka, dan orang tua menunggu kedatangan anak mereka. Di antara mereka yang menunggu tadi ialah ibunda Haritsah bin Suraqah seorang wanita tua yang jantungnya berdegup kencang menanti kedatangan anak tersayang. Tatkala pasukan kaum muslimin tiba di Madinah, anak-anak berlarian menghampiri ayahnya masing-masing, kaum wanita bergegas mencari suami mereka, demikian pula para orang tuamenyambut anak mereka,sedangkan ibunda Haritsah masih duduk termenung menunggu kedatangan anaknya.

Rombongan pertama telah tiba, disusul yang kedua, ketiga, kesepuluh, keseratus, kedua ratus. Namun, Haritsah tak kunjung tiba, sedangkan sang ibu tetap setia menantinya di tengah terik matahari yang membakar kulit. Ia takkan bosan menanti jantung hatinya itu, setelah selama ini ia selalu menghitung hari demi hari, bahkan menit demi menit menanti kedatangan anaknya. Ia bertanya kesana kemari perihal anaknya. Namun lagi-lagi, ia kembali dengan tangan hampa. Hampir saja ia dihinggapi rasa putus asa akan anaknya. Berulang kali ia mencari-cari anaknya, namun sang anak tak terlihat juga diantara rombongan-rombongan itu. Maka dipegangnyalah seorang sahabat seraya bertanya, “apakah engkau mengenal Haritsah bin Suraqah?” “ya, ibu siapa?” Tanya orang itu. “aku adalah ibunya, aku ibunda Haritsah,” jawab si ibu. “jika anda benar ibunya, maka tabahkanlah hati anda, sesungguhnya Haritsah telah terbunuh,” jawab orang itu. Mendengar kata-kata itu segeralah terbayang dalam hatinya akan Jannah. Ia berteriak, “Allahu Akbar!! Anakku telah syahid!! Semoga ia akan memberiku syafaat di Jannah kelak.” “Syahid? Kurasa ia tidak mati syahid,” sela orang itu. “lho, ada apa memangnya?” Tanya si ibu keheranan. “ia tidak mati di tangan orang kafir,” jawab lelaki itu. “ia tidak terbunuh diantara barisan kaum muslim?” Tanya si ibu. “tidak,” jawab lelaki tadi. “ia tidak terbunuh demi mempertahankan panji-panji Islam?” Tanyanya lagi. “tidak,” jawab lelaki itu. “lantas bagaimana ia mati terbunuh? Dimanakah Haritsah anakkku?” tanyanya agak histeris. “sesungguhnya Haritsah terbunuh sebelum perang dimulai, dan yang membunuhnya adalah salah seorang dari kaum muslimin. Jadi anakmu belum sempat berperang sedikitpun,” kata lelaki itu. “apa maksudmu?” Tanya si ibu. “ia bukanlah seorang syahid menurutku. Akan tetapi, semoga saja Allah memasukkannnya dalam Jannah,” jawabnya enteng. Setelah mendengar jawaban itu, sang ibu bertanya, “kalau begitu dimanakah Rasulullah SAW?” “itu dia, beliau sedang menuju kemari,” katanya.

Maka bergegaslah perempuan ‘malang’ ini mendatangi Rasulullah SAW, ia mengayun langkahnya yang berat dengan hati yang diliputi kegalauan akan anaknya, air matanya berderai membasahi pipinya, namun bukan air mata biasa, akan tetapi seakan ruhnya yang menetes. Di hadapan Nabi SAW, perempuan ‘malang’ ini berdiri dengan kepala tertunduk. Nabi SAW menatapnya dengan penuh rasa iba, wanita tua sebatang kara, tak punya tempat kembali untuk berbagi kesedihan. Beliau pun bertanya, “siapa anda?” “aku ibunya Haritsah,” jawabnya. “apa yang anda inginkan, wahai ibunda Haritsah?” tanya Nabi SAW. “ya Rasulullah, engkau tahu betapa cintanya aku kepada Haritsah dan semua orangpun tahu alangkah cintanya aku kepadanya. Ya Rasulullah, aku mendengar aku mendengar bahwa ia telah terbunuh. Maka kumohon padamu kabarkanlah aku dimana ankku sekarang? Kalau ia berada di Jannah, aku akan sabar, namun jika tidak demikian, biarlah Allah menyaksikan apa yang kuperbuat nanti!!” serunya. Nabi pun menatapnya dengan keheranan, “apa yang barusan anda katakan hai ibunda Haritsah, apa yang anda katakan?” “sebagimana yang engkau dengar tadi, ya Rasulullah, kalau ia berada di Jannah, aku akan sabar, namun jika tidak demikian, biarlah Allah menyaksikan apa yang kuperbuat nanti!!” jawabnya.

Maka Nabi yang pengasih ini menatapnya dnegan iba. Ia tak ubahnya seperti wanita tua yang sedang kalut pikirannya. Hatinya dipenuhi kegalauan. Ia berangan-angan andai saja anaknya berdiri di depannya, kemudian ia mendekapnya, menciumnya, dan membelainya. Ia rela berkorban apa saja untuk itu semua, walau dengan nyawanya sekalipun. Kedua kakinya terlihat kaku, lisannya terdiam membisu, tulang-tulangnya nampak rapuh, punggungnya yang membungkuk, kulitnya yang keriput dan suaranya yang serak seakan tertahan dalam kerongkongan. Alangkah malangnya nasib perempuan tua ini. Ia berdiri sembari kedua matanya menatap dengan penuh rasa ingin tahu. Kiranya jawaban apa yang akan didengarnya dari utusan Allah ini? Melihat kepasrahannya, ketundukkannya, dan keterkejutannya atas kematian anaknya, Nabi SAW berpaling kepadanya seraya berkata, “apa yang ibu katakan?” “seperti yang engkau dengar sebelumnya, ya Rasulullah,” jawabnya. “celaka, bagaimana engkau ini, hai ibunda Haritsah, kau sedih kehilangan anakmu? Bukan Cuma satu Jannah baginya, ada Jannah yang bertingkat-tingkat disana, dan Haritsah berada di Firdaus yang paling atas.” Tatkala mendengar jawaban ini redalah tangisnya dan kembalilah akalnya, lalu ia berkata “ya Rasulullah, ia benar-benar berada di Jannah??” “iya,” jawb beliau SAW. Maka kembalilah perempuan ‘malang’ ini ke rumahnya, disanalah ia mengisi hidup sambil menanti datangnya kematian. Ia rindu untuk segera bersua dengan buah hatinya di Jannah. Ia tak meminta ghanimah maupun harta, tidak pula mencari ketenaran maupun popularitas. Ia cukup ridha dengan Jannah, toh selama berada di Jannah, ia bisa makan sepuasnya, berteduh di bawah pohon-pohon rindang sesukanya, dan berkumpul bersama wajah-wajah yang berseri karena melihat wajah Allah. Mereka semuanya ridha didalamnya.

Demikianlah balasan yang setimpal bagi mereka. Bukankah selama ini mereka telah mempertaruhkan nyawa untuk itu, tubuh mereka yang dahulu penuh sayatan pedang, tusukan tombak, dan tancapan panah. Kini tibalah saatnya menuai segala jerih payah. ”Mereka berada diatas dipan yang bertahtakan emas dan permata, seraya bertelekan diatasnya berhadap-hadapan. Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda, dengan membawa gelas, cerek, dan sloki (piala) berisi minuman yang diambil dari mata air yang mengalir, mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk. Bagi mereka ada buah-buahan dari apa yang mereka pilih, dan daging burung dari apa yang mereka inginkan. Di dalam syurga itu ada bidadari-bidadari yang bermata jeli, laksan mutiara yang tersimpan baik. Sebagai balasan bagi apa yang mereka telah kerjakan. Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan yang sia-sia dan tidak pula perkataan yang menimbulkan dosa, akan tetapi mereka mendengar ucapan salam..” (QS. al-Waqi’ah: 15-26).

Semoga Allah merahmatimu wahai ibunda Haritsah, dan menempatkanmu bersamanya dalam Jannatul Firdaus.

(waroah dachlan/voice of al islam)

Asma' Binti Abu Bakr, Dzatun Nithaqain (Perempuan Pemilik Dua Ikat Pinggang)


Siapakah Asma’ binti Abu Bakr ?

Asma’ adalah salah seorang putri Abu Bakr ash Shiddiq. Ia dilahirkan 27 tahun sebelum peristiwa hijrah. Usianya sepuluh (10) tahun lebih tua dari saudaranya seayah ( ‘Aisyah binti Abu Bakr ra ). Sedangkan Abdullah bin Abu Bakr adalah saudaranya sekandung.

Beliau masuk Islam ketika masih berada di Mekah. Setelah tujuh belas (17 ) orang sahabat lainnya masuk Islam. Beliau juga termasuk salah seorang perempuan yang memba’iat Rasululullah saw.

Asma” dinikahi oleh Zubair ibnul-Awwam yang saat itu tidak memiliki apapun, kecuali seekor kuda yang oleh Asma’ selalu diberi makan dan dirawatnya.

Kisah dua ikat pinggang.

Indahnya kisah yang mengantarkan Asma’ kepada julukan Dzatun Nithaqain / Perempuan pemilik dua ikat pinggang adalah saat ia mempersiapkan perbekalan untuk Rasulullah saw dan ayahnya yaitu Abu Bakr ash-Shiddiq hijrah ke Madinah. Asma’ dengan cekatan, membelah ikat pinggangnya menjadi dua. Satu untuk mengikat dan mengangkat makanan Rasullah saw dan ayahnya. Sedangkan satu potong lainnya tetap ia gunakan sebagaimana layaknya perempuan lain.

Kedermawana n Asma’ binti Abu Bakr ash-Shiddiq

Abdullah bin az-Zubair putra beliau menggambarkan kedermawanan ibunya, ia berkata,” Aku tidak pernah melihat ada dua orang perempuan yang lebih dermawandari pada ‘Aisyah dan Asma’. Sedang kedermawanan mereka berbeda. Aisyah sering mengumpulkan hartanya. Maka ketuika relah banyak terkumpul, maka ia akan membagikannya kebanyak orang. Sedangkan Asma’, ia tidak pernah menyisakan sedikitpun dari hartanya untuk esok hari”.

Subhanallah … Alhamdulillah … Allahu Akbar !!!

Bagaimana dengan kita ya ukhti ??? Dengan segala sikap konsumtif yang melekat ?. Belanja kerudung, jilbab, gamis dan lain-lainnya yang mengikuti trend ??? Demi performance semata ???

Ya ukhti … ya ummi … mari kuatkan azam untuk merubah diri

Nasihat mulia dan ketegaran seorang Ibu

Disebutkan di dalam Siyar A’lam An-Nubala (2/293), Urwah berkata,” Saya dan saudara saya, Abdullah bin az-Zubairpernah menemui ibu kami pada hari kesepuluh sebelum beliau terbunuh.

Abdullah bin az-Zubair berkata,” Bagaimanakah engkau mendapati dirimu ?”.

Asma’ menjawab,” Sakit”.

Abdullah berkata ,” Sesungguhnya didalam kematian ada ketentraman”.

Asma berkata,” Mungkin engkau mengharapkan kematianku, namun janganlah engkau lakukan hal itu”.

Lalu, ia tertawa. Dia berkata lagi,” Demi Alloh, saya belum ingin mati hingga engkau datang kepada Hajjaj bin Yusuf untuk memeranginya. Dan engkau terbunuh dan itu yang aku harapkan. Atau engkau menang hingga menjadi penyejuk mata. Janganlah engkau mundur selangkahpun dan bersepakat dengannya, hanya karena benci kepada mati.

Sesungguhnya jasad ini tidak ada artinya, sebab arwah itu berada disisi Alloh, bertakwalah kepada Alloh dan bersabarlah”.

Sesungguhnya, Abdullah bin az-Zubair berkata demikian kepada sang Ibu karena me khawatir ibunya tak kuasa bila sesuatu hal buruk terjadi pada dirinya. Namun apa yang terjadi, sang Ibu yang mulia itu malah memberinya nasihat yang membangkitkan semangat.

Takdir terjadi, Abdullah terbunuh bahkan disalib oleh al-Hajjaj. Selama beberapa saat.

Ketika Ibnu Umar datang kepadanya untuk bertakziyah atas kematian putranya, beliau mendapati Asma’ binti Abu Bakr berada disudut masjid. Ibnu Umar menoleh kepadanya dan berkata,” Sesungguhnya jasad ini tidak ada artinya, sebab arwah itu berada disisi Alloh, bertakwalah kepada Alloh dan bersabarlah”.

Asma’ binti Abu Bakr berkata,” Apakah yang menghalangiku untik tidak bertaqwa kepada Alloh dan sabar. Padahal dahulu kepala Nabi Yahya bin Zakaria saja menjadi hadiah bagi para pembangkang Israil.

Subhanallah … ketegaran yang tak terbayangkan.

Setelah jenazah diturunkan, dengan congkaknya Hajjaj berkata kepada Asma’ Bagaimana kamu melihat ku memperlakukan Abdullah ?”.

Asma’ menjawab,” Aku melihatmu telah merusak dunianya dan dia merusak aikhiratmu/ agamamu”.

Betapa agungnya perempuan yang mampu meneguhkan diri dalam menghadapi berbagai musibah. Hatinya tak pernah merasa lemah dalam menghadapi berbagai cobaan.

Bagaimana dengan kita ??? Semoga Alloh SWT membantu kita untuk tegar dan istiqomah dijalanNya. Aamiiin. ( dbs )

Al Khanza binti Amru; Ibu Empat Syuhada



Nasihat Al Khanza’ Kepada ke-Empat Putranya

Disebutkan dalam Thabaqat Asy-Syafi’i (1/260), Al-Ishabah (7/6/4), ”Al Khanza’ binti Amru As-Salmiyyah ikut di satu pertempuran Al-Qadisiyyah, bersama empat putranya. Beliau memberi nasihat dan memompakan semangat jihad serta sikap pantang menyerah atau mundur satu langkahpun."

Dia pernah berkata, ”Kalian telah masuk Islam sebagai orang-orang yang taat. Kalian telah hijrah sebagai sebuah pilihan dan kalian adalah putra-putra dari seorang ayah dan seorang ibu. Nenek moyang kalian tidak ada yang tercela, demikian pula paman-paman kalian “.

Kemudian dia berkata lagi, ”Kalian telah mengetahui dan meyakini apa yang dijanjikan Allah kepada kalian berupa pahala yang besar dalam memerangi orang-orang kafir. Dan ketahuilah bahwa negeri yang kekal itu adalah lebih baik daripada negeri yang fana. Apabila kalian bangun esok pagi dalam kondisi selamat, insya Allah, maka berangkatlah untuk memerangi musuh kalian dengan penuh sabar dan mohonlah kepada Allah kemenangan atas musuh-musuh-Nya. Apabila kalian menyaksikan perang sedang berkecamuk dengan sengitnya serta api pertempuran semakin panas, maka kobarkanlah api pertempuran itu. Dan bertarunglah dengan komandan pertempuran pada saat pasukan itu membabi buta. Maka engkau akan meraih kemenangan dengan membawa harta yang melimpah dan kemuliaan dinegeri yang kekal”.

Terjun ke Kancah Pertempuran.

Keempat putra beliau keluar dan memegang teguh amanah sang ibu. Keesokkan harinya, mereka bersegera menuju markaz dan memulai pertempuran. Mereka tampil satu persatu, dengan mengumandangkan takbir dan bait-bait syair penyemangat.

Putra pertama terjun, berjuang-juang habis-habisan hingga terbunuh. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala melimpahkan rahmatNya.

Putra kedua tampil, dan memberikan perlawanan yang tidak kalah sengit dari kakaknya. Akhirnya ia terbunuh. Semoga rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala terlimpah atasnya.

Putra ketiga menyusul. Seolah tak ingin kalah dari kakak-kakaknya. Ia menyerang dan bertempur dengan sungguh-sungguh. Hingga kematian menjemputnya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala melimpahkan rahmat atasnya.

Akhirnya, putra ke-empat ikut terjun kekancah perang yang semakin memanas. Subhanallah, ia pun ikut terbunuh. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala melimpahkan rahmat atasnya.

Berita syahidnya ke-empat putra Al Khansa’ pun sampai ke telingan sang ibunda. Bagaimanakah sikapnya ?

Beliau berkata, ”Alhamdulillah, Dia telah memuliakanku dengan kematian mereka dan aku berharap kepada Rabbku semoga Dia mengumpulkan diriku bersama mereka di dalam kediaman yang penuh dengan RahmatNya.

Kemudian Umar bin Al Khaththab memberi pesangon kepada Al Khanza ‘ atas kematian putra-putranya, masing-masing 200 dirham.

Ya ummi … berapa putrakah Allah Subhanahu wa Ta'ala titipkan kepada kita ???
Sudahkan kita bersyukur sesuai petunjukNya ???
Mari muhasabah bersama. (dbs)

Nenek 'Umar bin Abdul Aziz'


Umar bin Abdul Aziz, itulah dia mukjizat Islam! Sebuah lembaran putih di antara lembaran-lembaran hitam dinasti Bani Marwan. Sosok manusia pilihan yang lahir dari perpaduan antara dua unsure yang amat bertolak belakang! Ya, sekali lagi amat bertolak belakang! Mengapa demikian?


Ia terlahir dari keluarga Bani Umayyah yang terhitung keluarga ningrat, pemegang tampuk kekuasaan. Ayahnya adalah Abdul Aziz bin Marwan, seorang gubernur Mesir yang diangkat oleh saudaranya, Amirul Mukminin Abdul Malik bin Marwan. Abdul Aziz memerintah Mesir selama 20 tahun. Sebagai gubernur, hidupnya tentu penuh dengan kenikmatan. Hidangan lezat, istana megah, pakaian indah dan kendaraan mewah. Sedangkan ibunya bernama Ummu ‘Ashim, Laila binti ‘Ashim bin Umar bin Khaththab. Seorang wanita dari keluarga Umar bin Khaththab yang tersohor dengan kezuhudan dan pola hidupnya yang amat bersahaja. Nah, dari perpaduan dua unsur inilah terlahir sosok Umar bin Abdul Aziz, si mukjizat Islam.


Sungguh, riwayat hidupnya merupakan fenomena yang sangat luar biasa. Menggambarkan sosok pribadinya,sungguh merupakan suatu hal yang sulit dilakukan. Memang benar,terhadap suatu sejarah besar, selalu ditemui pertanyaan dan keraguan yang mengharubirukan kita tentang diri seorang besar dan pemimpin adil semisal beliau ini. Sebenarnya, kesulitan sesungguhnya yang kita hadapi ialah dari sekian banyak kumpulan fakta yang berhubungan dengan kebesaran dan kelebihannya, sisi mana yang mesti diambil dan mana yang mesti ditinggalkan. Ketaatan dan ketekunannya dalam beribadah, ketinggian jiwanya, kewibawaannya, keadilannya, atau sepak terjangnya yang mengagumkan itu? Faktor utama yang ikut mewarnai pribadi seorang Umar bin Abdul Aziz adalah keshalihan istri ‘Ashim bin Umar bin Khaththab, yang merupakan nenek dari Umar bin Abdul Aziz.


Khalid Muhammad Khalid, seorang penulis Mesir kondang menuturkan dalam bukunya khulafaur rasul sebagai berikut, “waktu itu, malam gelap gulita. Kota Madinah telah tertidur lelap. Semua orang sedang terbuai dalam mimpi di rumahnya masing-masing. Namun, di sana masih ada seseorang yang tetap terjaga katrena gelisah diusik rasa tanggung jawabnya yang demikian besar, dan memang ia selalu gelisah seperti itu,sehingga tak pernah barang sekejap pun dapat berdiam diri. Ditelusurinya jalan-jalan dan lorong kota Madinah yang sempit itu, yang terasa hanyalah kegelapan malam yang hitam pekat bagai tinta, dan angin dingin yang menusuk tulang. Orang itu selalu keluar dan berjalan mengendap-endap. Setiap rumah diamatinya dari cekat dengan seksama. Dipasangnya telinga dan matanya baik-baik, kalau-kalau ada penghuninya yang masih terjaga karena lapar, atau yang tak dapat memicingkan matanya karena sakit, atau yang merintih dalam penderitaan atau barangkali ada seorang kelana yang terlantar. Ia selalu mengamati kalau-kalau ada kepentingan rakyatnya yang luput dari perhatiannya, karena ia yakin betul bahwa semua itu nanti akan dimintakan pertanggung jawaban kepadanya. Diperhitungkannya inci demi inci, butir demi butir, dan tak mungkin ada yang terlewatkan di hadirat Allah Ta’ala.

Orang itu adalah khalifah kaum muslimin, sosok yang selama ini mereka panggil dengan Amirul Mukminin. Benar! Ia tiada lain adalah Umar bin Khaththab. Sudah panjang jalan dan lorong yang ditelusurinya malam itu, sehingga tubuhnya terasa letih, keringatpun mengucur dari sekujur tubuhnya meskipun malam itu begitu dingin. Oleh sebab itu, ia menyandarkan tubuhnya pada sebuah dinding rumah kecil nan reot. Karena letih, ia duduk di tanah sambil mencoba beristirahat barang sejenak. Setelah kedua kakinya mulai terasa berkurang, ia bermaksud melanjutkan langkahnya menuju ke masjid. Sebab, tidak lama lagi fajar segera menyingsing.


Tiba-tiba, disaat duduk bertumpu pada kedua tangannya, didengarnya ada suara lirih dalam gubuk itu. Suara itu merupakan percakapan yang terjadi antara seorang ibu dengan anak gadisnya. Yaitu tentang susu yang baru saja mereka perah dari kambing mereka, untuk dijual dipasar pagi hari nanti. Si ibu meminta agar anaknya mencampur susu itu dengan air, sehingga takarannya lebih banyak dan keuntungan yang diperolehnya nanti dapat mencukupi kebutuhan mereka hari itu. Amirul Mukminin memasang telinganya lebih baik lagi untuk mendengarkan apa yang mereka bicarakan.

nak, campurlah susu itu dengan air!” kata si ibu. “tidak boleh bu. Amirul Mukminin melarang kita mencampur susu yang akan dijual dengan air,” jawab gadis itu. “tetapi semua orang melakukan hal itu,nak. Campur sajalah! Toh Amirul Mukminin tidak melihat kita, namun Rabb Amirul Mukminin pasti mengetahuinya!” jawab gadis itu.

“ nak, campurlah susu itu dengan air!” kata si ibu. “tidak boleh bu. Amirul Mukminin melarang kita mencampur susu yang akan dijual dengan air,” jawab gadis itu. “tetapi semua orang melakukan hal itu,nak. Campur sajalah! Toh Amirul Mukminin tidak melihat kita, namun Rabb Amirul Mukminin pasti mengetahuinya!” jawab gadis itu. Mendengar ucapan si gadis tadi,berderailah airmata Amirul Mukminin, ia tak kuasa menahan tangis karena terharu. Bukan airmata kesedihan, melainkan airmata ketakjuban dan kegembiraan. Bergegas ia bangkit dan melangkah menuju masjid, lalu shalat fajar bersama para sahabatnya. Seusai menunaikan shalat, ia segera pulang ke rumahnya. Dipanggillah puteranya, ‘Ashim, dan diperintahkannya untuk berkunjung kepada ibu si gadis di rumah reot itu, dan menyelidiki keadaan mereka.


‘Ashim kembali seraya menyampaikan kepada bapaknya perihal penghuni rumah yang didatanginya. Amirul Mukminin kemudian menceritakan percakapan yang didengarnya malam tadi kepada puteranya, sehingga ia memerintahkan kepadanya untuk menyelidiki keadaan keluarga itu. Di akhir percakapan itu, Amirul Mukminin lalu berkata kepada puteranya yang saat itu sudah waktunya untuk berumahtangga, “pergilah temui mereka, dan lamarlah gadis itu untuk jadi istrimu. Aku melihat bahwa ia akan member berkah kepadamu nanti. Mudah-mudahan pula ia dapat melahirkan keturunan yang akan menjadi pemimpin umat!” ‘ashim pun akhirnya menikahi gadis miskin tapi mulia dan suci hati itu. Mereka berdua dikaruniai seorang puteri yang mereka beri nama Laila, yang kemudian lebih terkenal dengan ummu ‘Ashim. Ummu ‘Ashim ini tumbuh menjadi seorang gadis yang taat beribadah dan cerdas, yang akhirnya diperistri oleh Abdul Aziz bin Marwan, dan dari keduanya terlahirlah Umar bin Abdul Aziz. Demikianlah silsilah keturunan mereka, dan nyatalah bashirah Amirul Mukminin Umar bin Khaththab tentang diri gadis yang membawa berkah itu.


“Dan orang-orang yang beriman lalu anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, maka Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS.ath-thur : 21)


Sosok Umar bin Abdul Aziz
Beliau dilahirkan pada tahun 60 Hijriah, bertepatan dengan tahun mangkatnya Amirul Mukminin Mu’awiyah bin Abi Sufyan, pendiri Daulah Umawiyah. ‘Umar adalah lelaki yang berparas elok, berkulit putih, berjambang tipis, bertubuh kurus, dan bermata cekung. Pada wajahnya terdapat bekas tapal kuda. Memang sewaktu kecil ia pernah masuk ke kandang kuda lalu ditendang pada bagian kepalanya. Karenanya ia disebut Asyajj Bani Umanyyah, artinya orang dari Bani Umayyah yang terluka kepalanya.


Kecerdasan Umar bin Abdul Aziz
Salah seorang tokoh ahlul bait yang bernama Muhammad bin Ali al-Baqir pernah ditanya tentang Umar, maka jawabnya, “Dialah orang cerdasnya Bani Umayyah, kelak ia akan dibangkitkan sebagai umat seorang diri.” Maimun bin Mihran berkata, “ Para ulama disampinga Umar tak ubahnya seperti santri.” Imam Ahmad pernah berkata, “Diriwayatkan dalam hadits bahwa Allah akan membangkitkan dipenghujung tiap abad seorang alim yang akan memperbaharui keberagaman umat ini. Setelah kami perhatikan, ternyata pada seratus tahun pertama Umarlah orangnya. Sedangkan pada seratus tahun berikutnya ialah asy-Syafi’i.

Ketawadhu’an Umar bin Abdul aziz
Usai memakamkan Sulaiman bin abdil Malik, ‘Umar mendengar suara gemuruh dan derap kuda. Iapun bertanya, “Ada apa ini?” “ini adalah kendaraan resmi kekhalifahan, ya Amirul Mukminin. Ia sengaja didatangkan kemari agar anda menungganginya,” jawab seseorang. “Aku tak membutuhkannya, jauhkan ia dariku. Kemarikan saja bighal-ku,” jawab Umar enteng. Maka mereka mendekatkan bighalnya dan Umar pun menungganginya. Tapi tiba-tiba datanglah kepala keamanan yang mengawal Umar dari depan sembari memegang tombak. “apa-apaan ini, aku tak perlu pengawal. Aku hanyalah salah seorang dari kaum muslimin,” kata Umar.


Maimun bin Mihran meriwayatkan bahwa suatu ketika ia bertemu dengan Umar bin Abdul Aziz, lalu Umar memintanya untuk menyampaikan sebuah hadits dari Rasulullah SAW. Maka Maimun menyebutkan satu hadits yang amat berkesan hingga Umar menangis sejadi-jadinya, lalu kata Maimun, “ ya Amirul Mukminin, kalu saja aku tahu anda bakal menangis niscaya akan kubawakan hadits lain yang lebih ringan,” “Hai maimun, ini gara-gara kami terlalu banyak makan kacang adas, dan sejauh yang kuketahui, ia bisa melunakkan hati, memperbanyak air mata, dan melemaskan badan,” sanggah Umar. Al-‘Ishami mengomentari kisah ini dengan mengatakan,” Dia benar, memang kacang adas memiliki sifat-sifat itu, akan tetapi rahasia sesungguhnya yang menyebabkan Umar menangis ialah karena hatinya amat takut kepada Allah. Akan tetapi, ia punya alas an untuk menisbatkan sebab tangisnya pada adas, karena pengaruhnya yang memang seperti itu. Seakan ia ingin menjauhkan dirinya dari apa yang mungkin menimbulkan riya”

Mutiara Hikmah Umar bin Abdul Aziz
Begitu terpilih menjadi khalifah, Umar langsung berpidato di depan rakyatnya. Ia menghaturkan puji-pujian kepada Allah dan shalawat atas Nabi Saw, kemudian berkata, ”kuwasiatkan kepada kalian agar senantiasa bertakwa kepada Allah karena takwa adalah pengganti segalanya, namun segalanya tak bisa menggantikan takwa. Beramallah untuk akhirat kalian, karena barang siapa beramal untuk akhiratnya pastilah Allah mencukupi baginya perkara dunianya. Perbaikilah batin kalian, niscaya Allah akan memperbaiki lahir kalian. Perbanyaklah mengingat kematian dan bersiap-siaplah sebelum ia datang, karena kedatangannya merupakan penghapus setiap kenikmatan. Sesungguhnya orang yang tahu bahwa leluhurnya telah tiada semua, mestinya sadar bahwa dirinya amat pantas untuk mati. Ingatlah bahwa umat ini tidak berselilsih lantaran Tuhan mereka, tidak pula lantaran Nabi-Nya atau kitab suci-Nya. Akan tetapi mereka berselisih lantaran dinar dan dirham, dan sungguh, demi Allah aku tidak akan memberikan yang batil pada seorangpun, dan tidak pula menahan yang haq darinya,” kemudian Umar mengangkat suaranya keras-keras hingga terdengar semua orang, “saudara sekalian, siapa yang taat kepada Allah, maka ia wajib ditaati, dan siapa yang bermaksiat kepada-Nya, maka tak ada ketaatan baginya. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah, namun jika aku bermaksiat, mak janganlah kalian menaatiku!!” (waroah dachlan / Ibunda Para Ulama-Sufyan bin Baswedan-WAFA press)

Al-Khansa' Ibunda Mujahid-Mujahid Sejati


Dialah al-Khansa’, wanita arab pertama yang jago bersyair. Para sejarawan sepakat bahwa sejarah tak pernah mengenal wanita yang lebih jago bersyair daripada al-Khansa’, sebelum maupun sepeninggal dirinya. Konon mulanya ia tak pandai bersyair, ia hanya bisa melantunkan dua atau tiga bait saja. Namun dizaman jahiliyyah , tatkala saudara kandungnya yang bernama Mu’awiyah bin Amru as-Sulami terbunuh, ia meratapi kematiannya dalam beberapa bait syair. Lalu menyusullah saudara seayahnya yang terbunuh pula, namanya Shakhr. Konon al-Khasa’ amat mencintai saudaranya yang satu ini, karena ia amat penyabar, penyantun, dan penuh perhatian terhadap keluarga. Kematiannya menyebabkannya sangat terpukul, lalu muncullah bakat bersyairnya yang selama ini terpendam. Dan mulailah ia melantunkan bait demi bait meratapi kematian saudaranya. Semenjak itulah ia mulai banyak bersyair dan syairnya semakin indah.

Keislaman al-Khansa’ dan Kaumnya

Tatkala mendengar dakwah Islam, al-Khansa’ datang bersama kaumnya -Bani sulaim- menghadap Rasulullah SAW dan menyatakan keislaman mereka. Ahli-ahli sejarah menceritakan bahwa pernah suatu ketika Rasulullah SAW menyuruhnya melantunkan syair, kemudian karena kagum atas keindahan syairnya, beliau mengatakan,”Ayo teruskan, tambah lagi syairnya, wahai Khansa’!” sambil mengisyaratkan dengan telunjuk beliau.

Wasiat al-Khansa’ Bagi Keempat Anaknya

Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa al-Khansa’ dan keempat putranya ikut serta dalam perang al-Qadisiyyah. Menjelang malam pertama mereka di al-Qadisiyyah, al-Khansa berwasiat kepada putera-puteranya,

wahai anak-anakku, kalian telah masuk islam dengan taat dan berhijrah dengan penuh kerelaan. Demi allah yang tiada ilah yang haqq selain Dia, kalian adalah putera dari laki-laki yang satu. Aku tak pernah mengkhianati ayah kalian, tak pernah mempermalukan khal kalian, tak pernah mempermalukan nenek moyang kalian, dan tak pernah menyamarkan nasab kalian. Kalian semua tahu betapa besar pahala yang Allah siapkan bagi orang-orang beriman ketika berjihad melawan orang-orang kafir. Ketahuilah bahwa negeri akhirat yang kekal jauh lebih baik dari negeri dunia yang fana.

“wahai anak-anakku, kalian telah masuk islam dengan taat dan berhijrah dengan penuh kerelaan. Demi allah yang tiada ilah yang haqq selain Dia, kalian adalah putera dari laki-laki yang satu. Aku tak pernah mengkhianati ayah kalian, tak pernah mempermalukan khal kalian, tak pernah mempermalukan nenek moyang kalian, dan tak pernah menyamarkan nasab kalian.

Kalian semua tahu betapa besar pahala yang Allah siapkan bagi orang-orang beriman ketika berjihad melawan orang-orang kafir. Ketahuilah bahwa negeri akhirat yang kekal jauh lebih baik dari negeri dunia yang fana. Allah SAW berfirman, “ Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga ( diperbatasan negerimu) dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (QS. Ali Imran : 200) Andaikata esok kalian masih diberi kesehatan oleh allah, mak perangilah musuh kalian dengan gagah berani, mintalah kemenangan atas musuhmu dari Ilahi. Apabila pertempuran mulai sengit dan api peperangan mulai menyala, terjunlah kalian ke jantung musuh, habisilah pemimpin mereka saat perang tengah berkecamuk, mudah-mudahan kalian meraih ghanimah dan kemuliaan di negeri yang kekal dan penuh kenikmatan.”

Lalu ia pun bertempur habis-habisan hingga gugur. Semoga Allah meridhainya beserta ketiga saudaranya. Tatkala berita gugurnya keempat anaknya tadi sampai ke telinga al-Khansa’, ia hanya tabah sembari mengatakan,” segala puji bagi Allah yang memuliakanku dengan kematian mereka. Aku berharap kepada-Nya agar mengumpulkanku bersama mereka dalam naungan rahmat-Nya.” ( sumber : Ibunda Para Ulama/Sufyan bin Fuad Baswedan/WAFA press)

Kepahlawanan Keempat anaknya

Terdorong oleh nasihat ibunya, keempat puteranya tampil dengan gagah berani. Mereka bangkit demi mewujudkan impian sang ibunda. Dan tatkala fajar menyingsing, majulah keempat puteranya menuju kamp-kamp musuh. Sesaat kemudian, dengan pedang terhunus anak pertama memulai seranagn sambil bersyair,

Saudaraku, ingatlah pesan ibumu

Tatkala ia menasehatimu di waktu malam..

Nasehatnya sungguh jelas dan tegas,

“Majulah dengan geram dan wajah muram!”

Yang kalian hadapi nanti hanyalah

Anjing-anjing sasan yang mengaum geram..

Mereka telah yakin akan kehancurannya,

Maka pilihlah antara kehidupan yang tenteram

Atau kematian yang penuh keberuntungan.

Ibarat anak panah, anak pertama melesat ke tengah-tengah musuh dan berperang mati-matian hingga akhirnya gugur. Semoga Allah merahmatinya. Berikutnya, giliran yang kedua maju menyerang sembari melantunkan,

Ibunda adalah wanita yang hebat dan tabah,

Pendapatnya sungguh tepat dan bijaksana

Ia perintahkan kita dengan penuh bijaksana,

Sebagai nasehat tulus bagi puteranya

Majulah tanpa pusingkan jumlah mereka

Dan raihlah kemenangan yang nyata

Atau kematian yang sungguh mulia

Di Jannatul Firdaus yang kekal selamanya.

Kemudian ia bertempur hingga titik darah penghabisan, menyusul saudaranya kealam baka. Semoga Allah merahmatinya. Lalu yang ketiga ambil bagian. Ia maju mengikuti jejak kedua saudaranya, seraya bersyair,

Demi Allah, takkan kudurhakai perintah ibu

Perintah yang sarat dengan kasih sayang

Sebagai kebaktian nan tulus dan kejujuran

Maka majulah dengan gagah ke medan perang..

Hingga pasukan Kisra terpukul mundur atau biarkan

Mereka tahu, bagaimana cara berjuang

Janganlah mundur karena itu tanda kelemahan

Raihlah kemenangan meski maut menghadang.

Kemudian ia terus bertempur hingga mati terbunuh. Semoga allah merahmatinya. Lalu tibalah giliran anak terakhir menyerang. Ia maju seraya melantunkan,

Aku bukanlah anak si Khansa’ maupun Akhram

tidak juga Umar atau leluhur yang mulia,

Jika aku tak menghalau pasukan ajam,

Melawan bahaya dan menyibak barisan tentara

Demi kejayaan yang menanti, dan kejayaan

Ataulah kematian, dijalan yang lebih mulia.

(Waroah Dachlan/voa-islam.com)

Ummu Waraqah, Syahidah di Dalam Rumahnya


Shahabiyah satu ini, telah menjadikan rumahnya sebagai masjid. Menghiasinya dengan ibadah. Seluruh waktunya diisi dengan sangat amanah. Tiada waktu dilalui tanpa Kitabullah. Seorang mukminah shalihah, Ummu Waraqah binti Al Harits Al Anshariyah.

Termasuk golongan pertama masuk Islam

Ketika intimidasi kepada sahabat-sahabat Rasulullah SAW semakin menjadi-jadi di Mekah, atas perintah Allah SWT, Rasulullah SAW mengizinkan mereka hijrah ke Madinah. Dan beliaupun segera menyusul kesana. Kehadiran beliau SAW yang membawa risalah agung tersebut, sudah dinanti-nanti oleh masyarakat Madinah yang berhati bersih dan ikhlas. Salah satu di antaranya adalah Waraqah binti Al Harits. Ia masuk Islam sejak pertama kali mendengarnya dan banyak meriwayatkan hadits-hadits. Maka layak masuk dalam kafilah assabiquunal awwaluun, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an surah At Taubah : 100,

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Alloh ridho kepada mereka dan merekapun ridho kepada Alloh dan Alloh menjadikan bagi mereka syurga-syurga yang mengalir sungai-sungai didalamnya. Mereka kekal didalamnya selama-0lamanya. Itulah kemenangan yang besar.”

Syukur dan takbir sambut kedatangan Nabi Muhammad SAW

Imam Ibnul Qayyim berkata, “Gema syukur dan takbir terdengar nyaring di seluruh pelosok kampung Bani ‘Amr bin ‘Auf. Takbir bergema di mana-mana, sebagai ungkapan rasa syukur. Penduduk Yatsrib serempak keluar dari rumah masing-masing untuk menyambut kedatangan Rasulullah SAW dan mengucapkan shalawat sebagaimana yang diajarkan beliau SAW.

Mereka berdiri berjajar mengitari beliau, sementara beliau SAW tampak sangat tenang, dan wahyupun turun kepadanya,

" . . . Maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.“ ( QS.At Tahrim: 4)

Hari itu merupakan hari yang paling meriah yang dialami warga Madinah sepanjang sejarah.

Setelah sholat Jum’at Rasulullah SAW masuk ke kota Yatsrib, yang sejak hari itu dirubah namanya menjadi kota Madinah.

Ummu Waraqah termasuk salah seorang penduduk kota Madinah yang sangat bersyukur dan berbahagia dengan kehadiran Nabi Muhammad SAW. Kebahagian itu merasuk kerelung-relung hatinya. Karena kepribadian beliau SAW sudah lama didengar, dan risalahnya telah lama diimani.

Mukminah ahli ibadah

Hidayah Allah Ta'ala menembus relung hatinya yang terdalam. Imanpun menghujam kokoh dalam batinnya. Ummu Waraqah berbai’ah kepada Rasulullah SAW. Sejak saat tu, ia mulai menekuni ayat-ayat Allah ‘Azza wa Jalla dengan sungguh-sungguh. Waraqah tidak hanya pandai membacanya, melainkan juga memahami dan menghafalnya dengan baik.

Lebih dari itu, Ummu Waraqah pun berusaha menghimpun dan menuliskannya pada tulang, kulit, pelepah kurma dan lain-lain. Ia berhasil menghimpun ayat-ayat Allah 'Azza wa Jalla yang turun di rumahnya waktu itu. Setelah Rasulullah SAW wafat, dan Abu Bakar ra berencana menghimpun Al Qur’an, Ummu Waraqah ditunjuk Khalifah untuk menjadi salah seorang rujukan penting bagi Zaid bin Tsabit sebagai pelaksana proyek.

Ummu Waraqah binti Al Harits di mata Rasulullah SAW

Rasulullah SAW sangat menghormati Ummu Waraqah. Beliau kerap berkunjung ke rumahnya sebagai bentuk penghormatan. Beliau SAW juga mengangkat seorang muazin yang sudah lanjut usia khusus untuknya. Atas saran Rasulullah SAW yang sangat memahami kebersihan dan kejernihan hatinya, Ummu Waraqah menjadikan rumahnya sebagai masjid. Dan ia sebagai imam khusus bagi kaum muslimah.

Allah SWT menjadikan Ummu Waraqah syahidah di rumahnya

Rasulullah SAW bersabda,

“Siapa yang memohon mati syahid dengan tulus, maka Allah akan memberi balasannya seperti balasan yang diberikan kepada para syuhada’. Walaupun ia mati di atas tempat tidur.“ (HR Muslim).

“Siapa yang memohon mati syahid dengan tulus, maka Allah akan memberi balasannya seperti balasan yang diberikan kepada para syuhada’, walaupun ia mati di atas tempat tidur.“ (HR Muslim).

Ummu Waraqah binti al-Harits bukan hanya seorang ahli ‘ibadah. Ia pun seorang mukminah yang mencintai jihad dan merindukan syahid di jalan Allah. Ketika ia mengetahui bahwa Rasulullah SAW menganjurkan sahabatnya untuk ikut perang Badar maka ia pun menjumpai Rasulullah SAW dan berkata, ”Wahai Rasulullah, izinkanlah aku ikut perang bersamamu untuk merawat tentara yang terluka dan sakit. Mudah-mudahan Allah memberiku mati syahid dengan cara itu.”

Rasulullah SAW bersabda, ”Tinggallah di rumahmu, karena sesungguhnya Allah SWT akan memberimu anugerah sebagai orang yang mati syahid.” ( HR Abu Dawud )

Mukminah ahli ibadah itu pulang mentaati saran Rasulullah SAW. Dengan sebuah pengharapan besar yang membuncah di dada, yaitu menjemput syahid di rumahnya sendiri.

Ketika Rasulullah SAW meninggal dunia, ummu Waraqah sangat kehilangan dan merasa terpukul. Namun ia tetap istiqomah. Semasa Rasulullah SAW hidup ia termasuk mukminah yang diridlainya. Maka kini tinggal menanti syahid itu datang.

Rasulullah SAW bersabda, ”Tinggallah di rumahmu, karena sesungguhnya Allah SWT akan memberimu anugerah sebagai orang yang mati syahid.” ( HR Abu Dawud )

Menjemput syahid

Akhirnya kerinduan dan pengharapan panjang itu pun datang, Ummu Waraqah menerima penghargaan tertinggi tersebut. Dalam Riwayat Abu Dawud dikisahkan sebagai berikut ,

"Ummu Waraqah memiliki seorang budak laki-laki dan budak perempuan. Kedua budak itulah yang membunuhnya dengan menutup wajah Ummu Waraqah dengan kain hingga meninggal. Kemudian mereka melarikan diri. Keesokkan harinya Umar mengumumkan kasus tersebut seraya berkata, ”Siapa yang mengetahui keberadaan budak tersebut, atau pernah melihatnya, maka tangkap dan bawalah kepadaku.” Akhirnya kedua budak itupun tertangkap, lalu dibunuh dan diikat ditiang. Inilah kasus pertama di kota Madinah orang yang dihukum dengan cara dibunuh dan diikat di tiang. “

Seluruh penduduk Madinah dicekam duka yang dalam, atas meninggalnya Ummu Waraqah mukminah mulia, yang zuhud, ahli ibadah, dan perindu syahid di dadanya.

Semoga Allah SWT meridhoi Ummu Waraqah binti Al Harits Al Anshariyah.

Bagaimana dengan kita wahai ikhwah ???

Apakah kita akan merasa cukup dengan menjadi seorang ahli ibadah ???

Semoga kita dapat mengambil ibroh dari tekad, semangat dan azam seorang Ummu Waraqah.



* Sumber: Kitab 35 Sirah Shahabiyah (Shahabiyyat Haular Rasuul SAW), Mahmud Al Mishri.

Kabsyah binti Rafi' ra, Kesyahidan Putranya Mengguncang 'Arsy

Shahabiyah yang akan kita ikuti kisahnya kali ini, adalah sosok ibu yang senantiasa mendorong putranya bersegera terjun ke medan jihad. Dia telah merelakan kedua putranya syahid demi meninggikan kalimah Allah dan meraih jannah. Dialah Kabsyah binti Rafi’ bin Mu’awiyah bin ‘Ubaid bin al-Abjar al-Khudriyyah.

Kabsyah binti Rafi’ adalah ibunda Sa’ad bin Mu’adz al-Asyhali pembawa bendera kaum Anshar dan salah seorang anggota majlis syuro saat Perang Badar. Kesyahidannya mengguncang ‘Arsy, membuat Allah tersenyum dan diiringi oleh 70 ribu malaikat.

Kabsyah bersyahadat

Hidayatut taufik menembus keimanan Sa’ad bin Mu’adz melalui da’wah yang disampaikan Mush’ab bin ‘Umair. Beliau adalah utusan Rasulullah SAW ke Yatsrib/ Madinah. Atas izin Allah dengan cahaya Islam yang memancar di wajahnya dan lisan yang terbimbing, dua tokoh besar Madinah taslim, yaitu Sa’ad bin Mu’adz dan Usaid bin Hudhair.

Atas kemurahan-Nya juga keislaman Sa’ad bin Mu’adz diikuti oleh seluruh bani Abdul Asyhal, tidak seorangpun membantah seruannya sebelum matahari terbenam. Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar.

Tidak ketinggalan Ummu Sa’ad bin Mu’adz yaitu Kabsyah binti Rafi’, pada hari itu juga ia memeluk Islam. Kebersihan jiwa dan keikhlasan, mempermudah masuknya cahaya iman kedadanya. Rasa syukur dan kebahagiaannya menjadi sempurna ketika rumah yang didiaminya menjadi pusat perkembangan da’wah kala itu. Sehingga Kabsyah memiliki kesempatan turut andil secara maksimal dalam menyebarkan kemuliaan Islam ke seluruh pelosok Madinah.

Harapan mulia

Ketika Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, Kabsyah/Ummu Sa’ad sangat berharap Beliau SAW berkenan tinggal di rumahnya. Namun Allah berkehendak lain, dengan memilihkan tempat tinggal bagi Rasul-Nya di rumah bani Najjar. Tepatnya di rumah Abu Ayyub al-Anshari ra.

Seluruh keluarga dan suku Anshar berlomba-lomba memberi pelayanan terbaik bagi Rasulullah SAW dan para sahabatnya dari golongan Muhajirin. Kabsyah berada di barisan paling depan dalam memberikan segala sesuatu keperluan untuk da’wah dan pelayanan kepada sang pembawa risalah agung, Nabi Muhammad SAW.

Ummu Sa’ad adalah sosok yang selalu berusaha menjadi pelopor dalam kebaikan. Dia adalah perempuan pertama yang berba’iah kepada Nabi Muhammad SAW di Madinah.

Kabsyah berada di barisan terdepan dalam memberikan segala sesuatu keperluan untuk da’wah dan pelayanan kepada Rasulullah SAW.

Kabsyah adalah sosok wanita yang selalu berusaha menjadi pelopor dalam kebaikan.

Peran Kabsyah dalam Perang Badar

Ketika Perang Badar terjadi, Ummu Sa’ad mendorong dan menyemangati kedua putranya Sa’ad bin Mu’adz dan ‘Amr bin Mu’adz ra untuk ikut berjihad. Ummu Sa’ad sangat bahagia kedua anaknya bergabung dalam misi tersebut. Bahkan sang ibu berharap putranya dianugerahi syahadah di jalan-Nya. Namun takdir berbeda, mereka pulang dengan selamat dan memperoleh kemenangan. Layaknya azam setiap mereka yang berjihad, isy kariman aumut syahidan (Hiduplah mulian atau matilah sebagai syahid).

Peran Kabsyah dalam Perang Uhud

Usai Perang Uhud, para muslimah termasuk Ummu Sa’ad bergegas keluar rumah, untuk memastikan keselamatan Rasulullah SAW. Sebelumnya, terbetik kabar banyak kaum muslimin gugur dalam peperangan itu, termasuk salah seorang putra Ummu Sa’ad yaitu ‘Amr bin Mu’adz ra.

Dalam perang itu ‘Amr bin Mu’adz perang dengan gagah berani, hingga menjemput syahid.

Andil Ummu Sa’ad/ Kabsyah binti Rafi’ dalam Perang Khandak

Ummu Sa’ad, menyeru anaknya Sa’ad bin Mu’adz untuk bersegera berangkat berperang. , hingga ia tidak memperhatikan bahwa baju besi yang dipakai putranya tidak sempurna, seluruh sikunya terbuka dan terlihat jelas. Bahkan ‘Aisyah ra sempat mengingatkan hal tersebut. Rupanya itulah jalan menuju syahid. Sa’ad bin Muadz akhirnya menemui ajal, setelah urat lengan yang terkena panah menimbulkan luka yang cukup parah dan tidak kunjung sembuh.

Di masa sakitnya, ia pernah memenuhi panggilan Rasulullah SAW untuk sebuah tugas memutus sebuah perkara untuk bani Quraizhah. Rasulullah SAW menilai putusan itu sangat adil, Beliau bersabda, ”Engkau telah memutuskan hukuman sesuai dengan hukum Allah dan hukum Rasul-Nya.”

Setiap perempuan berdusta dengan tangisnya, kecuali Ummu Sa’ad

Bagaimanapun, Ummu Sa’ad/Kabsyah binti Rafi’ sedih dan menangisi kepergian anaknya. Ketika Rasulullah SAW tiba di rumah Sa’ad bin Mu’adz, ia telah menghembuskan nafas terakhirnya. Mendengar tangisan Ummu Sa’ad Rasulullah SAW bersabda, “Setiap perempuan berdusta dengan tangisnya, kecuali Ummu Sa’ad.” Kemudian jasad Sa’ad dibawa keluar. Orang-orang yang mengangkatnya berkata, ”Wahai Rasulullah kami tidak pernah mengangkat jenazah seringan ini.” Rasulullah SAW bersabda, ”bagaimana tidak ringan, malaikat telah turun ke bumi begini dan begini. Mereka belum pernah turun dengan cara seperti ini sebelumnya. Dan mereka ikut memikul jenazah bersama kalian."

Rasulullah SAW pernah menemui Sa’ad saat terbaring sakit dan nafasnya tersengal-sengal. Rasulullah SAW bersabda, ”Semoga Allah membalas kebaikanmu selama ini sebagai pemimpin kaum yang baik. Engkau telah membuktikan janjimu, maka aku berdo’a semoga Allah membuktikan janji-Nya kepadamu.”

Rasulullah SAW bersabda, ”Arsy Allah yang Maha Pengasih berguncang karena kematian Sa’ad bin Mu’adz.” ( Muttafaq ‘ alaih ).

”Arsy Allah yang Maha Pengasih berguncang karena kematian Sa’ad bin Mu’adz.”

Ibnu Umar ra berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Hamba shalih yang (kematiannya) telah mengguncang 'Arsy, membuat pintu-pintu langit terbuka dan 70.000 malaikat hadir mengiringinya. Padahal mereka belum pernah turun ke bumi seperti ini sebelumnya, merasa kesempitan kemudian Allah memberinya keleluasaan. Hamba shalih yang dimaksud adalah Sa’ad bin Muadz," (HR.Bukhari Muslim).

Mendengar kebaikan yang diperoleh putranya, Ummu Sa’ad sangat terhibur.

70 Ribu Malaikat hadir mengiring jenazah Sa'ad bin Mu'adz dan memikulnya bersama kaum muslimin.

Menghadap Sang Khalik

Setelah menempuh perjalan dan perjuangan yang panjang, Ummu Sa’ad akhirnya menyusul kedua putranya, menemui Sang Khalik. Semoga Allah meridhainya dan menjadikannya ridha.

Semoga Allah SWT mengumpulkan mereka di surge Firdaus.

Tak inginkah kita berkumpul kembali di jannah dengan keluarga yang kita cintai ?



* Sumber: 35 Sirah Shahabiyah (Shahabiyyaat Haular Rasuul SAW), Mahmud Al Mishri

Jumat, 18 Juni 2010

Shafiyyah, Mukminah Pertama yang Membunuh Orang Musyrik


Ibunda Hawari (Pengawal Setia) Rasulullah SAW dan Mukminah pertama yang membunuh orang musyrik



Siapakah Shafiyyah binti Abdul Muthalib ?

Shafiyyah adalah putri Abdul Muthalib bin Hasyim, paman Rasulullah SAW yang juga Pemimpin dan tokoh Quraisy yang sangat disegani. Ibundanya adalah Halah binti Wahb saudara kandung Aminah binti Wahb, ibunda Rasulullah SAW.

Suami pertama Syafiyyah adalah Al-Harits bin Harb. Al Harits meninggal lebih dulu. Kemudian Syafiyyah menikah dengan Al ‘Awwam bin Khuwailid, saudara kandung Khadijah Binti Khawailid ra, Ummul Mukminin pertama di masa Islam.

Putra Syafiyyah adalah Zubair bin Al ‘Awwam yang mendapat julukan Hawari (pendamping setia Rasulullah SAW).

Karakter Shafiyyah.

Shafiyyah hidup dan dibesarkan dalam lingkungan terpilih, sehingga dia tumbuh menjadi orang mulia. Beliau mendapat tugas kehormatan menjamu dan memberi makan kepada para jamaah haji (As-Siqaayah).

Shafiyyah menguasai sastra dan fasih berbahasa, sangat terpelajar, piawai menunggang kuda dan berani bak ksatria.

Shafiyyah menguasai sastra dan fasih berbahasa, sangat terpelajar, piawai menunggang kuda dan berani bak ksatria

Orang besar terlahir dari Ibu yang Mulia

Kita akui bersama, banyak orang besar terlahir dari para ibu yang tangguh pula. Betapa tidak, ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Para mukminah tersebut memiliki hati yang bersih, tulus dan ikhlas dalam setiap amaliahnya. Tidak ada yang diharapkannya selain keshalihan putra-putri yang dibesarkannya. Dengan iman, azam, keringat, air mata bahkan darah diharapkan mereka menjadi manusia yang siap berjuang untuk meninggikan kalimah Allah SWT.

Zubair bin Al Awwam adalah salah satu buktinya. Ia adalah ksatria Rasulullah SAW yang memiliki keberanian dan kemampuan di atas rata-rata. Bahkan Umar bin Khatthab menyetarakannya dengan 1000 orang pasukan. Hal ini terjadi pada saat penaklukan Mesir. Ia dan ketiga rekannya diutus oleh Al-Faruq untuk membantu pasukan muslimin yang terdesak. Saat itu, Pasukan Kaum Muslimin dipimpin oleh ‘Amr bin Al-Ash.

Zubair melakukan hal yang sangat heroik dan menantang. Di saat pasukan hampir mengalami kekalahan, Zubair naik ke benteng musuh yang sangat kuat seorang diri, lalu terjun ke tengah-tengah pasukan musuh sambil memekikkan “Allahu Akbar“ untuk membuka pintu gerbang. Zubair pun berhasil, dan pasukan kaum muslimin dapat menembus benteng dengan leluasa dan menghancurkan musuh sebelum mereka sadar.

Suami Shafiyyah yang kedua pun , Al ‘Awwam bin Khuwaild lebih dulu menghadap Allah SWT. Dan meninggalkan seorang anak laki-laki hasil pernikahan mereka yang juga bernama Zubair. Shafiyyah mendidik putranya ini dengan sangat tegas.

Keislaman Shafiyyah binti Abdul Muthalib

Ketika Islam mulai menyinari Jazirah Arab dan Wahyu telah turun, Rasulullah SAW menyeru kepada keluarga, sebagai implementasi dari perintah Allah SWT dalam Surah Asy-Syu’ara : 214. “Dan berilah peringatan kepada keluarga-keluarga yang paling dekat denganmu.“

‘Aisyah ra, meriwayatkan ketika turunnya ayat tersebut di atas, ’Nabi SAW mengumpulkan segenap keluarganya sambil berkata, ”Wahai Fatimah binti Muhammad, Wahai Shafiyyah binti Abdul Muthalib, Wahai Bani Abdul Muthalib, aku tidak dapat membela kalian sedikitpun di hadapan Allah; Adapun mengenai harta, silakan minta dariku sesuka hatimu.”

Nur Islam, menembus relung hati terdalam Shafiyyah dan ia pun taslim (masuk Islam), berserah diri secara total kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sedangkan, Zubair putranya telah lebih dulu menerima Islam.

Sejak saat itu, Shafiyyah maksimal berinteraksi dengan Dien yang agung ini. Shalatnya terjaga, shaum sunnahnya ditunaikan, lidahnya tak pernah kering dari berzikir kepada Alloh SWT.

Shalatnya terjaga, shaum sunnahnya ditunaikan, lidahnya tak pernah kering dari berzikir kepada Allah SWT.

Shafiyyah binti Abdul Muthalib pun termasuk dalam rombongan muhajirin, setelah perintah hijrah dari Allah SWT diturunkan kepada Rasulullah SAW.

Peran Shafiyyah di Perang Uhud

Di tengah kecamuk Perang Uhud, Syafiyyah dan beberapa muslimah lainnya ikut ambil bagian. Mereka mengantar air bagi para pasukan yang kehausan. Selain itu, Shafiyyah juga mempersiapkan panah dan mengobati yang terluka..

Karena Pasukan Pemanah tak taat kepada perintah Rasulullah SAW dan tergoda ghanimah, sehingga turun dari bukit. Maka pasukan kaum muslimin harus menelan pil pahit kekalahan. Banyak sahabat melarikan diri dan menyelamatkan diri masing-masing, hingga Rasulullah SAW hanya dilindungi oleh sedikit pasukan. Shafiyyah tidak tinggal diam, ia meraih tombak dan mengacung-acungkannya di hadapan pasukan muslimin yang lari berhamburan sambil berteriak, “Engkau telah membiarkan Rasulullah berjuang seorang diri!!!”

Rasulullah SAW merasa iba melihat Shafiyyah, dan berkata kepada putra Shafiyyah, Zubair bin ‘Al Awwam, ”Temui ibumu dan ajaklah segera ia pergi meninggalkan medan perang. Jangan sampai dia melihat kondisi saudara kandungnya (Hamzah bin Abdul Muthalib).” Zubair langsung mendekati ibunya dan menyampaikan pesan Rasulullah SAW. Zubair berkata, ”Ibu, sesungguhnya Rasulullah SAW menyuruhmu agar mundur dari medan perang….”

Shafiyyah balik bertanya, “Memangnya kenapa? Aku menerima kabar bahwa saudara kandungku telah syahid dan tubuhnya dirusak. Ketahuilah, bagiku hal itu terlalu ringan selama dipersembahkan di jalan Allah. Kami dapat menerima dengan lapang dada semua kejadian itu. Sampaikanlah kepada Rasulullah SAW bahwa aku akan tetap sabar dan tabah, insya Allah”.

Subhanallah … ketabahan, keteguhan dan kesabaran yang luar biasa yang hanya dimiliki oleh hamba-hamba-Nya yang terpilih …

Zubair pun kembali menemui Rasulullah SAW dan menyampaikan pesan ibunya. Rasulullah SAW berkata, ”Kalau begitu biarkan dia dalam posisinya sekarang.” Kemudian Shafiyyah, mendatangi jenazah saudara kandungnya. Ikut menyalatkannya dan mendoakan agar Allah SWT mengampuni dosa-dosanya.

Mukminah pertama yang membunuh orang musyrik

Dalam Perang Khandaq (parit) pasukan musuh bersekutu akan menghancurkan Islam dan kaum muslimin. Tapi Allah punya makar tersendiri, Dia menolong kaum muslimin dengan mengirimkan angin kencang yang memporak-porandakan perkemahan kaum kufar. Hingga mereka tercecer dipadang pasir, bak tikus yang berhamburan.

“Ketika Rasulullah SAW keluar Madinah untuk menghadapi musuh (dalam Perang Khandaq) beliau menempatkan kaum muslimah di benteng milik Hasan ra, karena benteng itulah yang paling kuat. Tiba-tiba seorang Yahudi datang dan mencoba menyelidiki benteng tersebut. Melihat hal itu, Shafiyyah berkata, ”Maka aku langsung mengambil sepotong kayu dan turun dari benteng untuk mendekati Yahudi itu. Aku buka pintu benteng perlahan-lahan, lalu menyerang orang Yahudi lalu memukulnya hingga mati.”

Allahu Akbar, betapa beraninya Syafiyyah binti Abdul Muthalib.

Ibnu Ishaq menyatakan, ”Shafiyyah adalah muslimah pertama yang membunuh orang musyrik.”

Ibnu Ishaq menyatakan, ”Shafiyyah adalah muslimah pertama yang membunuh orang musyrik.”

Saatnya berpisah

Shafiyyah adalah hamba Allah, bukan hamba dari para hamba-Nya. Karenanya, dia tetap istiqamah dengan Islam walaupun Rasulullah SAW telah berpulang ke rahmatullah. Shafiyyah tetap genggam erat ajaran nabinya hingga ia terbaring menanti ajal.

Setelah mengisi detik-detik hidupnya dengan perjuangan yang tak kenal lelah, saatnya pun tiba, Shafiyyah binti Khuwailid menemui Rabbnya. Shafiyyah meninggal dalam usia 70 tahun lebih, sungguh usia yang penuh berkah. Jenazahnya dimakamkan di area pekuburan Baqi.

Shafiyyah tetap genggam erat ajaran nabinya hingga ia terbaring menanti ajal.



Semoga Allah SWT meridhai Shafiyyah binti Abdul Muthalib.

Semoga Allah menjadikan kita, para muslimah dan mukminah yang berjiwa mujahidah, sebagai Shafiyyah-Shafiyyah masa kini. Aamin ya Mujibassaailiin!.


* Sumber: 35 Sirah Shahabiyah, Karya Mahmud Al-Mishri.

Zunairah . Ketabahan Menyembuhkan Butanya


Shohabiyah kita kali ini adalah seorang hamba sahaya yang istiqomah. Walaupun ia seorang budak yang dapat diperjual belikan. Namun, mengakar kuatnya iman didada, kokoh tegaknya keyakian menjadikannya sebagai sosok yang berani, menghadapi siapapun. Termasuk sang majikan. Sehingga tak seorangpun dapat mencabut bahkan sekedar menggoyahkan aqidahnya.

Shohabiyah kita kali ini bernama Zunairah. Dan ia adalah budak dari Abu Jahal. Orang yang amat sangat membenci Rasulullah saw.

Menghadapi siksaan teramat pedih.

Setelah tahu bahwa budaknya memeluk agama Islam. Abu Jahal, langsung memanggil Zunairah dan menginterogasinya. “ Zunairah, benarkah kamu telah menganut Islam ?”tanya Abu Jahal. “ “Benar. Saya percaya pada seruan Muhammad, karena itu saya mengikutinya,” jawab Zunairah.

Abu Jahal mencoba, menggoyang keyakinan Zunairah. Ia bertanya kepada kawan-kawannya.” “Hai kawan-kawan, apakah kalian juga mengikuti seruan Muhammad ?”

“ Tidaaak,” jawab mereka serempak.

“ Nah sekiranya yang diserukan Muhammad itu baik, tentu mereka dulu yang akan mengikutinya,” kata Abu Jahal sambil mengejek.

Namun hal itu, sama sekali tidak menggoyahkan keyakinan Zunairah.

Melihat Zunairah yang teguh pada pendiriannya, Abu Jahal semakin kalap. Ia memukul Zunairah dengan sewenang-wenang tanpa belas kasihan. Pukulannya membabi buta, bertubi-tubi. Beberapa pukulannya mendarat diwajah dan kepala Zunairah.

Akibat siksaan yang dialaminya, akhirnya Zunairah mengalami kebutaan.

Melihat hamba sayanya buta, alih-alih ia menaruh iba. Abu Jahal yang kejam malah mengejek dengan kata-kata yang sangat menyakitkan. “ Matamu menjadi buta itu, akibat engkau masuk Islam. Coba kau tinggalkan agama Muhammad itu, matamu akan sembuh kembali,” katanya.

Zunairah merasa sedih dengan celaan itu. Bukan karena dirinya yang diejek, tapi karena agamanya dilecehkan. Iapun menjawab dengan lantang. “ Kalian semua pembohong, tidak bermoral. Latta dan Uzza yang kamu sembah itu tidak dapat berbuat apa-apa. Apalagi memberi manfaat dan mudharat,” katanya.

Abu Jahal bertambah marah. Ia pukul Zunairah sekeras-kerasnya sambil berkata,” Wahai Zunairah ingatlah kepada Latta dan Uzza. Itu berhala sembahan kita sejak nenek moyang kita. Tak takutkah jika mereka nanti murka kepadamu. Tinggalkan segera agama Muhammad yang melecehkan kita,” kata Abu Jahal.

“ Wahai Abu Jahal, sebenarnya Latta dan Uzza itu buta. Lebih buta dari mataku yang buta akibat siksaanmu. Meski mataku buta, Alloh tidak akan sulit mengembalikannya, menjadi terang. Tidak seperti tuhanmu Latta dan Uzza itu,” kata Zunariah.

Subhanallah kecerdasan dan keberaniaan yang luar biasa,dalam berdebat, telah ditunjukan oleh seorang hamba sahaya kepada majikannya…

Sikap syaja’ah yang sangat layak untuk diteladani. Berkata yang benar dihadapan penguasa yang dholim !!!! Sungguh sebuah amaliyah yang tinggi nilainya dihadapan Alloh SWT.

Atas kebesaran Alloh, keesokkan harinya, mata Zunariyah yang buta akibat siksaan Abu Jahal dapat melihat kembali.

Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar !!!!!!!!!!!

Zunairah dapat Melihat kembali.

Menyaksikan hal itu, Abu Jahal heran . Namun dasar orang kafir, dia malah berkata,” Ini pasti karena sihir Muhammad ,” sambil kembali menyiksa hamba sahayanya.

Alhamdulillah Abu Bakar segera datang dan memerdekakan Zunairah setelah member tebusan kepada Abu Jahal.

Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar !!!

Sungguh sebuah teladan yang layak menjadi bahan renungan dan sangat perlu diikuti. Sikap istiqomah yang mantap, yang tak tergoyahkan sedikitpun, baik dibujuk dengan rayuan dunya maupun disiksa hingga mengakibatkan hilangnya penglihatan.

Alhamdulillah perjuangan Zunariyah mempertahankan keyakinannya berakhir ahsan. Karena penglihatannya kembali terang . Bahkan Alloh SWT lewat hambaNya Abu Bakar Ash Shiddiq telah memberinya sebuah hadiah kemerdekaan/ kebebasan.

Sebuah kisah yang menakjubkan. Semoga Alloh SWT KUATKAN kita untuk menjadi mukminah yang istiqomah. Siap mengadapi apapun, demi mempertahankan aqidah shohiha.

(maraji': 101 Wanita Teladan di Masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karya Hepi Andi Bastoni). [ummu azizah/voa-islam.com]

Nusaibah binti Ka'ab: Srikandi Penolong Rasulullah


DI SEKELILING Rasulullah SAW terdapat terdapat para lelaki dan wanita (baca: para shahabat dan shahabiyah) dengan keimanan dan konsistensi tiada bandingannya. Mereka adalah orang-orang yang berani, dermawan, santun, dan mengasihi orang lain.

Tak terhitung lagi banyaknya literatur sejarah yang acapkali memuji kontribusi para sahabat Rasulullah SAW, namun penting juga rasanya memeras tenaga untuk menelisik informasi yang ada tentang kontribusi para shahabiyah (sahabat wanita) Rasulullah. Di antara sekian banyak dari mereka, salah satunya adalah Nusaibah binti Ka’ab r.a. yang –bersama keluarganya—dikenal sebagai sosok yang humanis dan sering berderma.

Di berbagai kitab hadits dan sirah (sejarah), Nusaibah dikenal dengan julukan ‘Ummu Imarah.’ Setelah mendengar Islam dan mengetahuinya, wanita yang memeluk Islam pada permulaan Islam muncul ini ikut pergi bersama kaum lelaki dari Madinah ke Makkah untuk bergabung dengan komunitas muslim di bawah bimbingan Nabi Muhammad.

...Nusaibah menjadi salah satu shahabiyah terkemuka yang disegani banyak orang, karena superioritasnya, terutama keberanian ketika membela Rasulullah pada Perang Uhud...

Nusaibah kemudian menjadi salah satu shahabiyah terkemuka yang disegani banyak orang. Hal ini dikarenakan superioritasnya, terutama keberanian yang didemonstrasikannya ketika membela Rasulullah pada Perang Uhud. Ketika itu, pada perang tersebut dia bergabung dengan pasukan Islam untuk mengemban tugas penting dalam bidang humanitarian. Bersama para wanita lainnya, Nusaibah ikut memasok air kepada para prajurit muslim dan mengobati mereka yang terluka.

Sejatinya, sungguh sangat tidak biasa bagi seorang wanita untuk ikut berpartisipasi di medan perang. Namun mereka memiliki peran penting dalam mengerahkan pasukan, memacu semangat mereka dengan senandung jihad, memuaskan dahaga para prajurit yang kehausan setiap kali cuaca panas menyengat, dan yang terpenting adalah mengobati para prajurit terluka.

Kita dapat mengetahui keberanian Nusaibah pada Perang Uhud dikarenakan pada perang tersebut banyak hal-hal yang tidak berjalan mulus. Pada prosesnya, nyawa Nabi Muhammad Saw. pun berada dalam bahaya. Meski tidak dapat disebutkan peristiwa-peristiwa detil pada perang tersebut, tapi penting untuk menyebutkan bahwa ketika pasukan pemanah di bawah komando Abdullah bin Jubair mengabaikan instruksi Rasulullah dan meninggalkan pos mereka, seketika itu juga pasukan musuh di bawah komando Khalid bin Al-Walid merangsek naik menempati pos mereka.

Dalam sebuah hadits shahih dinyatakan bahwa dalam perang tersebut sedikitnya 70 sahabat terluka dan banyak lainnya yang mati syahid.

...Ketika melihat Rasulullah menangkis berbagai serangan musuh sendirian, Nusaibah segera mempersenjatai dirinya dan membentuk sebuah formasi pertahanan untuk melindungi Rasulullah...

Ketika melihat Rasulullah menangkis berbagai serangan musuh sendirian, lalu Nusaibah segera mempersenjatai dirinya dan bergabung dengan yang lainnya membentuk sebuah formasi pertahanan untuk melindungi Rasulullah. Berbagai buku sejarah mencatat bahwa ketika itu Nusaibah berperang penuh keberanian dan tidak menghiraukan dirinya dalam membela beliau.

Meski akhirnya kaum muslimin mendapatkan kemenangan di Perang Uhud, sejatinya perang tersebut mencatat sejumlah pelajaran penting yang harus dicamkan kaum muslimin. Di sejumlah pelajaran penting tersebut terselip sebuah nota peranan penting Nusaibah dan keluarganya yang telah berjibaku bersusah payah membela Nabi Muhammad.

Dalam rangka membela Nabi Muhammad, Nusaibah sendiri menderita luka-luka, ada sekitar 12 luka di tubuhnya dengan luka di lehernya yang cukup parah. Namun hebatnya dia tidak pernah mengeluh, mengadu, atau bersedih. Dia justru memohon kepada Rasulullah agar mendoakan diri dan keluarganya agar kelak bisa bergabung bersama beliau di surga. Dan Rasul pun mengabulkan permintaannya.

Dalam sejarah Islam, selain disebut-sebut sebagai salah satu sahabat pionir dan berani, Nusaibah juga dinyatakan sebagai seorang wanita yang memiliki kesabaran luar biasa dan selalu mendahulukan kepentingan orang lain dari dirinya sendiri. Salah seorang putranya kemudian syahid di pertempuran selanjutnya. Nusaibah menerimanya dengan penuh keyakinan bahwa putranya mendapatkan kedudukan tinggi di sisi Allah, dan menerima berita kematian itu dengan penuh kemuliaan serta kebanggaan.

Tidak hanya Perang Uhud, Nusaibah bersama suami dan putra-putranya ikut dalam, Peristiwa Hudaibiyah, Perang Khaibar, Perang Hunain dan Perang Yamamah. Dalam berbagai pertempuran itu, Nusaibah tidak hanya membantu mengurus logistik dan merawat orang-orang yang terluka. Lebih dari itu, dia juga terjun ke medan perang dan mengangkat senjata. Bahkan pada Perang Yamamah, selain mendapat sebelas luka, tangannya juga terpenggal oleh musuh.

Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, sebagian kaum muslimin kembali murtad dan enggan berzakat. Abu Bakar Ash-Shiddiq yang menjadi khalifah pada waktu itu segera membentuk pasukan untuk memerangi mereka. Abu Bakar mengirim surat kepada Musailamah Al-Kadzdzab dan menunjuk Habib, putranya Nusaibah, sebagai utusannya.

...Pada Perang Yamamah, Nusaibah dan putranya Abdullah ikut memerangi Musailamah sampai dia tewas di tangan mereka berdua...

Musailamah memerintahkan Habib untuk menyatakan bahwa dia adalah utusan Allah, namun Habib menolaknya dengan alasan bahwa dia tuli. Musailamah yang merasa marah akhirnya menyiksa Habib dengan memotong anggota tubuhnya satu persatu sampai syahid. Meninggalnya Habib meninggalkan luka yang dalam di hati Nusaibah. Pada Perang Yamamah, Nusaibah dan putranya Abdullah ikut memerangi Musailamah sampai dia tewas di tangan mereka berdua. Beberapa tahun setelah peristiwa Perang Yamamah, Nusaibah meninggal dunia. Yassarallahu hisabaki wa yammanallahu kitabaki! [ganna/voa-islam.com/ dari berbagai sumber]